Sebuah Potret Keseharian Guru
Setiap akhir semester, ritual yang sama berulang. Seorang guru membuka folder lama di laptopnya, mencari file soal semester ganjil tahun-tahun sebelumnya, lalu mulai menyalin, mengganti sedikit angka, mungkin menukar urutan nomor, dan selesai---satu paket soal siap cetak. Praktis, cepat, dan efisien. Tapi... benarkah ini cara terbaik untuk mengukur pemahaman siswa hari ini?
"Apakah soal yang sama masih relevan di era yang berbeda?"
Pertanyaan ini jarang muncul dalam kesibukan administrasi harian guru. Di tengah tekanan deadline, tugas mengajar, dan tumpukan laporan, membuat soal menjadi rutinitas yang harus segera diselesaikan---bukan ruang untuk bereksperimen. Tanpa disadari, banyak guru telah lama terjebak dalam zona nyaman asesmen, menggunakan soal yang sama dari tahun ke tahun. Padahal, dunia pendidikan telah berubah. Siswa hidup di era digital, di mana kemampuan berpikir kritis, membaca konteks, dan bernalar jauh lebih penting dari sekadar mengingat definisi.
Kini, saatnya menengok kembali: apakah soal yang kita berikan masih sesuai dengan kebutuhan zaman, atau justru menghambat tumbuhnya nalar generasi mendatang?
Zona Nyaman dalam Dunia Asesmen
Zona nyaman bukan hanya soal rutinitas mengajar, tetapi juga merambah ke cara guru menilai. Dalam konteks asesmen, zona nyaman berarti kebiasaan menggunakan tipe soal yang sama, format yang sama, dan pendekatan yang sama dari tahun ke tahun---tanpa mempertanyakan lagi apakah soal tersebut masih relevan atau efektif.
Ada beberapa alasan mengapa guru tetap bertahan di zona nyaman ini:
- Tekanan waktu dan administratif. Beban kerja guru yang tinggi sering membuat penyusunan soal menjadi pekerjaan "cepat saji". Menggunakan soal lama terasa lebih efisien ketimbang menyusun dari nol.
- Kurangnya pelatihan tentang soal literasi dan numerasi. Tidak semua guru mendapat pelatihan atau akses terhadap contoh-contoh soal berbasis pemahaman konteks, penalaran, dan keterampilan abad 21.
- Rasa aman dengan soal lama. Soal yang pernah digunakan dan terbukti "lancar" dianggap lebih aman dan minim risiko dibanding mencoba format baru yang belum tentu dimengerti siswa.
Namun, kebiasaan ini memiliki dampak negatif yang tidak bisa diabaikan:
- Soal tidak lagi mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa hanya diuji kemampuan mengingat, bukan memahami, menganalisis, atau mengevaluasi.
- Soal menjadi tidak relevan dengan konteks kehidupan siswa saat ini. Banyak soal yang tidak menggambarkan dunia nyata siswa, sehingga terasa membosankan dan tidak bermakna.
- Tidak sejalan dengan semangat Merdeka Belajar dan kurikulum yang adaptif. Kurikulum saat ini mendorong siswa berpikir kritis, kolaboratif, dan adaptif terhadap tantangan zaman---dan itu dimulai dari cara guru menilai mereka.
Zona nyaman memang terasa aman, tetapi tidak membawa kemajuan. Untuk mencetak generasi pembelajar yang tangguh, guru perlu berani keluar dari kebiasaan lama---termasuk dalam menyusun soal.
Era Baru: Soal Literasi, Numerasi, dan Skolastik
Dunia pendidikan sedang bergerak ke arah baru. Kini, soal ujian tidak lagi cukup jika hanya menguji pengetahuan faktual. Era baru asesmen menuntut guru untuk menyusun soal yang mampu menggali keterampilan berpikir kritis, pemahaman konteks, dan kemampuan bernalar. Inilah mengapa istilah seperti soal literasi, numerasi, dan skolastik semakin sering terdengar.