"Your brand is what people say about you when you're not in the room." -- Jeff Bezos, pendiri Amazon
Pernyataan ini semakin relevan di era digital, saat personal branding tidak hanya dibentuk lewat prestasi di CV, tapi juga lewat jejak yang kita tinggalkan di media sosial.
Bayangkan seorang pelamar kerja dengan CV luar biasa---IPK tinggi, aktif organisasi, punya pengalaman magang di perusahaan besar. Tapi ketika HRD membuka akun media sosialnya, mereka menemukan unggahan berisi ujaran kebencian, komentar negatif tentang mantan atasan, atau konten yang tidak mencerminkan profesionalisme. Tanpa pikir panjang, pelamar pun gagal melangkah ke tahap berikutnya.
Kamu kira HRD cuma baca CV? Faktanya, kini mereka juga scrolling Instagram, stalking X/Twitter, bahkan melihat siapa saja yang kamu follow. Karena di balik semua pencapaian formal, HRD ingin tahu siapa kamu sebenarnya.
CV yang Menarik Saja Tidak Cukup
Saya pernah diberi kepercayaan sebagai recruiter di dua lingkungan yang sangat berbeda: satu di dunia pendidikan, dan satu lagi di bidang otomotif. Setiap kali membuka lamaran kerja, saya sering menemukan banyak CV yang secara teknis sudah menarik---desainnya estetik, bahasanya profesional, dan daftar pencapaiannya panjang. Tapi semakin lama saya terlibat dalam proses rekrutmen, saya menyadari satu hal penting: CV hanya gerbang awal.
CV yang baik memang wajib. Isinya harus ringkas, relevan dengan posisi yang dilamar, dan menonjolkan hasil kerja, bukan sekadar aktivitas. Contohnya, menulis "berhasil meningkatkan engagement media sosial sekolah sebesar 40% dalam 3 bulan" jauh lebih kuat daripada hanya menulis "mengelola akun Instagram sekolah."
Namun di tengah derasnya pelamar berkualitas, saya belajar bahwa CV saja tidak cukup untuk mengenal karakter seseorang. Di dua instansi tempat saya merekrut, saya dan tim mulai terbiasa menelusuri lebih dalam---termasuk mengecek akun media sosial pelamar. Kami ingin tahu, apakah semangat dan sikap profesional yang ditulis di CV juga tercermin dalam interaksi mereka di ruang digital?
Hari ini, banyak kandidat punya CV bagus. Tapi yang benar-benar menonjol adalah mereka yang memiliki personal branding yang konsisten, baik di dokumen formal maupun jejak digital mereka. Karena pada akhirnya, reputasi bukan cuma soal apa yang kamu tulis, tapi juga bagaimana kamu tampil saat tak sedang melamar pekerjaan.
Mengapa HRD Mengecek Media Sosial?
Saat CV terlihat rapi dan wawancara berjalan lancar, bukan berarti proses seleksi berakhir di sana. Sebagai recruiter, saya pun pernah merasakan dilema: "Kandidat ini terlihat menjanjikan, tapi... kok ada yang mengganjal?" Dari situlah saya---dan banyak HRD lainnya---belajar menggunakan media sosial sebagai jendela tambahan untuk mengenal pelamar lebih utuh.
HRD mengecek media sosial bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk mencari keaslian. Di balik formalitas CV dan kerangka jawaban wawancara yang sudah dipoles, media sosial sering kali menunjukkan sisi personal yang lebih jujur. Gaya berkomunikasi, sikap terhadap orang lain, cara menghadapi perbedaan, hingga bagaimana seseorang mengelola emosi---semuanya bisa terlihat secara tidak langsung dari unggahan, komentar, atau bahkan konten yang dibagikan ulang.