Kilas balik anak kereta. Tahun 1997 hingga awal 2000-an, saya adalah salah satu dari sekian banyak "anak kereta"---julukan untuk para penumpang setia KRL ekonomi lintas Depok-Bogor yang tiap hari menempuh perjalanan jauh demi menuntut ilmu.Â
Saya kuliah di Bogor, tinggal di Depok, dan setiap pagi serta sore, hidup saya berpindah di antara rel, stasiun, dan gerbong yang padat oleh manusia dan cerita.
Namun ada satu pemandangan yang begitu melekat dalam ingatan saya: buku, di mana-mana. Di atas bangku panjang kereta ekonomi, di tangga stasiun, bahkan di antara kaki penumpang yang berdiri rapat---ada yang membaca buku kuliah dengan stabilo di tangan, ada yang larut dalam novel, ada yang melipat halaman majalah atau membuka lembaran koran sambil sesekali menghela napas.
Membaca bukan sekadar aktivitas pengisi waktu, tapi semacam budaya tidak tertulis di antara para penumpang. Kami seolah punya kesepakatan diam-diam bahwa waktu di kereta adalah waktu produktif. Dalam bising mesin dan aroma khas gerbong ekonomi, justru banyak dari kami yang belajar, menyelesaikan tugas, atau sekadar menjelajah dunia lewat cerita fiksi. Kereta menjadi ruang belajar bergerak, tempat sunyi di tengah keramaian.
Kontras dengan Zaman Sekarang
Dua puluh tahun berlalu, saya masih naik kereta. Rutenya kurang lebih sama, tapi suasananya jauh berbeda. Gerbong kini lebih bersih, lebih tertib, lebih sejuk. Tapi ada yang terasa hampa. Buku-buku yang dulu jadi teman perjalanan nyaris tak tampak. Kini, hampir semua mata tertunduk menatap layar. Entah sedang menonton, scrolling media sosial, atau sekadar berpura-pura sibuk agar tak perlu berinteraksi.
Saat sesekali saya membuka buku fisik di kereta---kebiasaan lama yang tetap saya pertahankan---saya mulai merasa seperti makhluk langka. Bahkan pernah ada penumpang muda yang melirik buku saya seolah saya sedang melakukan sesuatu yang aneh. Membaca buku, yang dulu begitu biasa, kini terasa seperti aksi kecil yang nyeleneh.
Tidak salah memang. Teknologi mengubah segalanya. Informasi kini mengalir deras dari layar kecil yang bisa menyajikan ribuan halaman dalam genggaman. Tapi ada perbedaan yang sulit dijelaskan: membaca buku di layar tidak memberi rasa yang sama seperti membalik halaman fisik sambil mendengarkan irama kereta di rel. Ada kedalaman yang hilang, ada ruang hening yang tergantikan notifikasi.
Apa yang Berubah?
Perubahan paling mencolok tentu saja adalah teknologi. Smartphone telah menjadi benda wajib dalam kehidupan modern. Ia bukan hanya alat komunikasi, tapi juga televisi mini, perpustakaan digital, bahkan teman hiburan saat bosan.Â
Di dalam satu gawai, kita bisa menonton drama Korea, membaca berita, mengedit foto, dan memesan makan malam. Sayangnya, kemudahan ini sering kali membuat kita terjebak dalam konsumsi cepat, bukan kontemplasi mendalam.
Di masa saya menjadi anak kereta, hiburan itu tidak instan. Untuk membaca novel, kita harus membawanya. Berat? Ya. Tapi kami tidak keberatan. Untuk mengakses informasi terbaru, kami membeli koran atau majalah, lalu melipat dan membacanya di sela-sela perjalanan. Kini, informasi bisa diperoleh hanya dengan swipe ke atas---cepat, tapi kadang tak sempat dipahami.