"Kami masih mencicil utang katering dan dekor meskipun sudah satu tahun menikah."
Itu pengakuan jujur dari pasangan muda yang memaksakan resepsi mewah demi memenuhi ekspektasi keluarga besar. Mereka mengira menikah akan jadi solusi ekonomi: tinggal serumah, berbagi pengeluaran, dan hidup lebih hemat. Nyatanya, pesta satu hari itu menyisakan beban jangka panjang.
Di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, biaya sewa yang mencekik, dan ketidakpastian kerja, banyak pasangan melihat pernikahan sebagai cara 'aman' bertahan hidup. Tapi ironisnya, niat baik itu sering terjebak dalam budaya validasi sosial---resepsi harus megah, tamu harus puas, dokumentasi harus Instagrammable.
Di tengah himpitan ekonomi, apakah pesta pernikahan masih perlu semegah itu? Ataukah kita sedang mempertaruhkan stabilitas finansial hanya demi satu hari yang 'terlihat sempurna' di mata orang lain?
Realita Sosial: Menikah sebagai Jalan Keluar Ekonomi
Dalam kondisi ekonomi yang serba tak pasti, menikah kerap dipandang sebagai langkah strategis untuk bertahan hidup. Berdua lebih hemat daripada sendiri---begitu kira-kira logikanya. Biaya hidup bisa dibagi dua, kontrakan bisa disewa bersama, dapur cukup satu, dan rutinitas jadi lebih efisien.
Tak sedikit pasangan muda yang mengaku mempercepat pernikahan karena alasan praktis. "Biar hemat dan gak terus-terusan LDR," atau "Kalau sudah nikah, bisa saling bantu urus pengeluaran," adalah kalimat yang sering terdengar. Dalam teori, menikah memang bisa mempercepat kestabilan finansial. Ada dukungan emosional dan ekonomi yang lebih kuat saat hidup dijalani bersama.
Namun, realitasnya tak selalu seindah itu. Alih-alih jadi awal kehidupan hemat, pernikahan seringkali justru menjadi pintu masuk utang baru. Biaya resepsi, sewa gedung, katering, undangan, hingga gaun pengantin---semuanya bisa menembus puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dan ketika semua itu dibiayai bukan dari tabungan, tapi dari pinjaman atau paylater, yang lahir bukan rumah tangga sehat, melainkan rumah tangga yang langsung dibebani cicilan.
Pernikahan yang diniatkan sebagai solusi ekonomi malah berubah menjadi beban ekonomi. Bukan karena kehidupan setelah menikah, tapi karena satu hari penuh tuntutan dan ekspektasi yang terlalu mahal untuk dipaksakan.
Budaya Validasi dalam Pernikahan
Di balik gemerlap pesta pernikahan, sering kali terselip satu motivasi tersembunyi: kebutuhan untuk diakui. Resepsi bukan lagi sekadar syukuran atas momen sakral dua insan yang bersatu, melainkan menjadi panggung validasi sosial---tempat pembuktian bahwa seseorang "sudah sukses", "pantas dibanggakan", dan "layak tampil sempurna."
Tekanan ini bisa datang dari mana saja. Orang tua yang ingin menjaga gengsi keluarga, teman-teman yang membandingkan, hingga media sosial yang terus memamerkan tren pernikahan mewah, dengan dekorasi serba estetik, tamu ratusan, dan video cinematic ala film romantis. Sayangnya, tak semua pasangan punya kemampuan finansial untuk memenuhi ekspektasi semacam itu.
Alih-alih membangun rumah tangga berdasarkan kesiapan mental dan finansial, banyak pasangan justru terpaksa memprioritaskan kesan luar. Resepsi pun dirancang bukan untuk kenyamanan pasangan, tapi untuk memenuhi standar sosial yang kadang tak masuk akal. Semakin banyak tamu yang terpukau, semakin dianggap "berhasil." Padahal, keberhasilan sebuah pernikahan bukan diukur dari dekorasi, melainkan dari bagaimana pasangan saling menguatkan di hari-hari setelah pesta selesai.