Apakah sekolah-sekolah di Indonesia siap menghadapi Tes Kompetensi Akademik (TKA) dengan jujur, atau justru akan mengulang pola lama yang sarat kecurangan?
Tes Kompetensi Akademik (TKA) kembali diwacanakan sebagai alat ukur kemampuan siswa dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan ini mengingatkan kita pada masa lalu, ketika ujian nasional dan berbagai bentuk tes akademik sering kali diwarnai oleh praktik kecurangan yang dilakukan secara sistematis.Â
Tidak sedikit sekolah yang, alih-alih menanamkan nilai kejujuran, justru terlibat dalam skenario kecurangan dengan memberikan jawaban kepada siswa secara terstruktur dan masif.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sekolah akan kembali terjebak dalam budaya curang demi menjaga citra dan angka kelulusan, atau justru menjadikan TKA sebagai momentum untuk berbenah dan membangun kembali integritas akademik?
Baca juga: Wajah Baru Mengukur Kompetensi Siswa: Mengapa Harus TKA? Kenapa Bukan ANBK?
Budaya Kecurangan dalam Ujian: Mengapa Bisa Terjadi?
Praktik kecurangan dalam ujian bukan sekadar tindakan individu, tetapi sering kali merupakan hasil dari budaya sistemik yang telah mengakar di dunia pendidikan. Beberapa faktor utama yang mendorong sekolah terlibat dalam kecurangan secara sistematis antara lain:
1. Tekanan terhadap sekolah dan guru.Â
Banyak sekolah merasa tertekan untuk menunjukkan hasil akademik yang tinggi demi mempertahankan reputasi. Dalam beberapa kasus, peringkat sekolah, akreditasi, hingga evaluasi kinerja guru bergantung pada nilai ujian siswa.Â
Akibatnya, demi menjaga citra sekolah dan memenuhi ekspektasi, sebagian oknum pendidik memilih jalan pintas dengan memberikan "bantuan" kepada siswa saat ujian berlangsung.