Istilah jojoba (jomlo jomlo bahagia) sempat ngetren di kalangan milenial dan Gen X sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma negatif terhadap status jomblo. Banyak orang yang menganggap jomblo sebagai sesuatu yang menyedihkan, padahal jojoba justru menekankan kebahagiaan dan kemandirian seseorang yang menikmati hidup sendiri tanpa tertekan oleh ekspektasi sosial. Fenomena ini menggugah kesadaran bahwa kebahagiaan tidak selalu tergantung pada memiliki pasangan, melainkan bisa ditemukan dalam menjalani hidup dengan penuh makna dan kebebasan.
Sebaliknya, menjadi jojoba memberikan ruang untuk bertumbuh secara pribadi tanpa tekanan emosional dari hubungan yang toksik.Â
Hubungan toksik sering kali dipenuhi dengan manipulasi, rasa tidak aman, dan konflik yang terus-menerus, yang pada akhirnya menguras energi dan kesejahteraan mental.Â
Sementara itu, memilih untuk sendiri dengan bahagia memberi kesempatan untuk mengenal diri lebih dalam, mengembangkan potensi, dan membangun kehidupan yang lebih seimbang.
Menjadi jomblo bukan berarti kesepian atau kurang berharga. Justru, dengan menjalani hidup sebagai jojoba, seseorang bisa lebih fokus pada kebahagiaan pribadi dan menyiapkan diri untuk hubungan yang lebih sehat di masa depan.
Mengapa menjadi jojoba bisa menjadi pilihan yang lebih baik dibanding bertahan dalam hubungan yang toksik, serta bagaimana cara menolak hubungan yang merugikan dengan elegan?
Kenapa Banyak Orang Terjebak dalam Hubungan Toxic?
Meskipun hubungan toksik membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, banyak orang tetap bertahan di dalamnya. Berbagai faktor, baik dari dalam diri maupun tekanan eksternal, membuat seseorang sulit melepaskan diri dari hubungan yang merusak. Berikut beberapa alasan utama mengapa banyak orang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat:
1. Takut Kesepian
Bagi sebagian orang, berada dalam hubungan---meskipun tidak sehat---terasa lebih baik daripada sendirian. Ketakutan akan kesepian sering kali menjadi alasan utama seseorang bertahan dalam hubungan yang penuh konflik, gaslighting, atau ketidakbahagiaan.Â
Mereka mungkin berpikir bahwa tidak ada orang lain yang akan mencintai mereka atau bahwa hidup tanpa pasangan terasa hampa. Padahal, kesepian bukanlah sesuatu yang hanya bisa diatasi dengan memiliki pasangan; kebahagiaan sejati datang dari rasa cukup dan nyaman dengan diri sendiri.
2. Tekanan Sosial
Masyarakat sering kali menganggap bahwa memiliki pasangan adalah salah satu indikator kebahagiaan dan kesuksesan. Pernyataan seperti "Kapan nikah?" atau "Masa sih masih sendiri?" bisa membuat seseorang merasa terbebani dan memaksa diri untuk mempertahankan hubungan yang sebenarnya tidak sehat.Â