Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balon Kebudayaan

13 Desember 2021   17:01 Diperbarui: 13 Desember 2021   17:04 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Selain jargon evolusi bahkan revolusi kebudayaan sebagai prapahan dinamika kebudayaan yang selalu mengalami perubahan, kemajuan, bahkan kedewasaan peradaban manusia, kenyataan adanya involusi bahkan sindrom primitif pada kebudayaan manusia pasca modern, ternyata tak terpungkiri.

Dengan semakin canggihnya sistem managemen dan perencanaan sosial, ditunjang oleh semakin nyaris purnanya kecerdasan buatan yang bisa diaplikasikan dalam sistem kehidupan baru manusia, kebudayaan dalam aspek yang berhubungan dengan eksistensi manusia dan makna peran tujuan hidupnya, entah mengapa, nampak semakin tak bisa diharapkan menjadi sumber acuan utama kehidupan.

Nilai-nilai keutamaan manusia yang beribu tahun menjumpai rekayasa alamiahnya, sistem moral yang terus menerus mencoba menemukan ideal-ideal sebuah tatanan, bahkan idiologi-idiologi bahkan agama-agama, semua terayun-ayun seperti ombak dilaut. Kadang tenang nyaman dan membuat kerasan, kadang beriak bikin gerah, dan tak jarang berenergi gelombang yang mampu mengikis karang. Sesekali malah menghasilkan tsunami dasyat tak terbendung melibas setiap apa saja yang ada dan berhasil diadakan manusia.

Kebudayaan manusia laksana balon elastis yang harus selalu siap mengkerut sedemikian rupa kecilnya agar memberi ruang pada manusia bahkan untuk mulai mengisi hidupnya dengan banyak rupa kebutuhan dan keinginan. Lantas harus selalu siap pula menggelembung sedemikian rupa besarnya agar segala daya cipta karya dan karsanya tetap berada di dalam batasan penanda diri sebagai manusia. 

Evolusi dan involusi, revolusi dan primitifisasi kebudayaan yang membutuhkan ketersediaan balon yang sangat elastis itu, nampak dalam upaya banyak bangsa dan juga kita semua memahami gaya hidup, gaya beragama, dan gaya berbangsa generasi ini. Semua orang butuh suaranya didengar, semua orang meminta asumsinya diakui, bahkan kepakaran pun telah luluh lantak diterpa ukuran keberhasilan kesejahteraan; yang sempit dilihat dari sisi ekonomis saja. Demikianlah ukuran kekuatan dan elastisitas kebudayaan menjumpai tantangannya.

Lantas, kalau karakteristik budaya yang ternyata memang begitu elastis nan mulur mungkret, mengapa kita tidak mengakuinya saja dan lantas memanfaatkannya dengan bijak? Mengapa begitu banyak kebencian, pertikaian bahkan, pemaksaan kekerasan hingga pengasingan dan pembunuhan masih terus terjadi dengan asumsi menegakkan ini itu masih terus terjadi? Mengapa perdebatan kebenaran, keselamatan, keadilan, bahkan moralitas terus menerus hanya untuk menghabiskan energi dan bukan untuk memperbaiki diri sendiri?

Karena alamiah, Balon elastis kebudayaan itu disediakan oleh alam ini, silahkan juga kalau mau disebut diciptakan oleh Tuhan, untuk kehidupan keberlangsungan manusia di bumi. Bukan untuk menutup kepala dan hati yang akhirnya kita sendiri yang kehabisan nafas dan belas kasihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun