Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Damai, Indonesia Damai, Bisakah?

28 Januari 2016   08:15 Diperbarui: 28 Januari 2016   08:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketiga, saya berasumsi bahwa perdamaian hanya bisa dibicarakan dengan asumsi dan konsepsi damai dan ide kerakusan yang berawal dari perasaan yang paling berhak harus sejak dini diakui bukanlah bentuk dari semangat damai, sekecil apapun itu. Hal ini penting karena seringkali orang membangun kesadaran tentang damai berawal dari adanya konflik. Konflik selalu ada, baik di Papua maupun diwilayah manapun di seluruh Indonesia. Dan bagi saya, dalam banyak peristiwa sejarah yang terjadi di Papua, yang terjadi bukanlah konflik melainkan kriminalitas negara, dan lantas negara-negara yang berkoalisi demi kepentingan ekonomi terhadap sebuah komunitas dalam teritori tertentu.

MELIHAT PAPUA DENGAN PERSPEKTIF DAMAI

Dengan ketiga asumsi damai itu maka saya melihat kasus Papua sebenarnya adalah kasus klasik seluruh umat manusia, yaitu usaha manipulasi sebuah kelompok yang lebih memiliki power terhadap kelompok lain yang lebih powerless. Perbedaan ras, suku, agama, dan penguasaan lahan dalam teritori tertentu memang merupakan konflik yang tidak terhindarkan. Namun perbedaan itu ada dimana-mana. Dan tidak harus dilihat dalam upaya untuk memaksa kelompok satu terhadap yang lainnya.

Sejarah Papua yang adalah kisah manipulasi dan kriminal itu tidak bisa dilihat sebagai penyebab konflik, namun harus disadari sebagai belum mampunya sebuah negara, dan atau negara-negara berlaku adil dan manusiawi terhadap alam dan komunitas lokal disana. Jika analisis kita mulai dari pendekatan ini tentu pertanyaan besarnya adalah mengapa hal itu masih terus terjadi di era dimana logika modernisme yang serba tunggal tidak lagi bisa dipertahankan.

Bagi kita non-Papua yang selalu membanggakan diri bahwa “Papua adalah kita” perlu mempertanyakan diri, apakah slogan seperti itu didorong oleh idea tentang nasionalisme yang masih terus perlu dipertanyakan itu atau nilai kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Harus diakui bahwa masih sering muncul banyak sikap yang tidak peka terhadap isu rasial ketika orang berbicara tentang kemanusiaan dan kelestarian lingkungan di Papua.

Stereotipe rasial yang memposisikan orang Papua sebagai inferior dan sekaligus alam Papua sebagai obyek eksploitasi masih terlalu sering dianggap sebagai kewajaran dalam media dan bahkan dalam preposisi analisis terhadap kasus Papua. Hal itu kadang nampak sangat halus dalam ujaran bahwa penduduk Papua masih membutuhkan banyak pendidikan (oleh non-Papua) untuk dapat bersaing dalam dinamika bangsa, butuh banyak modal untuk bisa menjadi berdaya seperti lainnya di negara ini jelas berasal dari sikap rasialis itu. Oleh karena itu, bagi saya, melihat papua dengan perspektif damai adalah dengan terlebih dahulu menghapus stereotipe dan sikap rasialis terhadap orang Papua.

Dengan langkah awal seperti itu, maka pertanyaan selanjutnya tentu tentang sejauh mana negara dan bangsa ini mampu menghapuskan superioritas etnis, semacam bentuk singkat dalam isu mayoritas-minoritas? Selama superioritas etnis masih menjadi bagian dari semangat memandang Papua sebagai bagian dari “kita Indonesia” maka sebenarnya sejak saat itu kita tidak mampu bicara tentang damai Papua.

Konsep modernitas adalah salah satu penyebab tumbuh suburnya superioritas etnis. Peradaban dilihat tanda-tandanya dalam ukuran yang sangat tidak adil bagi komunitas-komunitas tertentu. Apa yang di era Orde Baru disebut sebagai proyek integrasi (misalnya lewat transmigrasi atau standardisasi birokrasi dan pendidikan nasional) dan bahkan dengan tegas disampaikan dengan tujuan membuat kelompok masyarakat tertentu menjadi “beradab” nampaknya masih sangat segar berada dalam konsep berpikir bahkan bagi orang Papua itu sendiri.

Jadi menghapus stereotipe rasial dapat dilakukan dengan cara menghilangkan superioritas etnis dalam beragam bentuknya dan memandang konsep peradaban modernitas dengan lebih arif dan cerdas. Sekali lagi nampak bahwa melihat Papua dalam perspektif damai adalah berbicara tentang nilai kemanusiaan dan penghormatan kita pada kearifan lokal (tradisi dan alam).

Salah satu hal yang perlu menjadi catatan untuk dapat memaknai nilai kemanusiaan itu adalah dengan keberanian kita sebagai bangsa untuk jujur melihat sejarah kekejaman sebagai tindakan tidak manusiawi yang bersifat kriminal, bukan sebagai bagian dari pergumulan membangun bangsa. Keberanian untuk jujur pada kekejaman sejarah itu perlu diungkap dengan kearifan agar seluruh dunia dan masa depan anak bangsa ini mampu belajar untuk setidaknya tidak mengulanginya lagi. Selama kekejaman yang tidak manusiawi dianggap hanya sebagai bagian dari proses negosiasi, selama itu pula permainan politik dan ekonomi akan terus menerus menelan korban-korbannya.

MELIHAT JEJAK-JEJAK DAMAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun