Mohon tunggu...
Wicaksono Bayu
Wicaksono Bayu Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Consultant - Content Creator

Abstractive Observer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pertunjukan Musik Laring, Kearifan Lokal diantara Budaya Asing

7 November 2012   03:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:50 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laring: Sound of Differences

Ditengah maraknya gempuran budaya Barat & Asia (Korea) yang kini menginvasi Indonesia dan berhasil "meracuni" pandangan serta pola perilaku masyarakat, khususnya anak muda, ternyata masih ada pihak-pihak yang menunjukkan kepedulian pada kearifan lokal. Disaat ranah sosial gegap gempita dengan hadirnya Gangnam Style ̶ lagu & seni gerak yang diciptakan oleh artis populer Korea, Psy ̶  dan sejumlah event organizer serta tempat hiburan berlomba-lomba menawarkan konsep yang atraktif untuk merayakan malam Halloween ̶ tradisi perayaan akhir musim panen yang berasal dari bangsa Irlandia kuno yang hingga kini dilestarikan di Amerika ̶ Kelola, sebuah yayasan nirlaba yang konsisten menyediakan kesempatan belajar, pendanaan, serta akses informasi bagi masyarakat seni Indonesia, melalui salah satu programnya yang fokus pada pemberdayaan seniman perempuan yakni EWA (Empowering Women Artists) mengambil sikap untuk menyuguhkan pertunjukan seni budaya tanah air sebagai menu utama dari misi mereka. Konsistensi yang ditunjukkan Yayasan Kelola layak mendapat apresiasi, mengingat sejak didirikan pada tahun 1999, program EWA yang digagas mulai tahun 2007 ini telah mempersembahkan 14 karya seni pertunjukan yang semuanya lahir dari seniman perempuan dan telah dipertontonkan pada masyarakat di berbagai kota di Indonesia.

Ditahun keenam penyelenggaraannya ini, sebanyak 23 proposal dari seniman perempuan di Indonesia telah dievaluasi oleh tim seleksi yang terdiri dari para ahli dan juga seniman dari berbagai ketertarikan dan latar belakang. Mereka diantaranya, Amna S. Kusumo (Kelola), Iskandar K. Loedin (Tari), Joko S. Gombloh (Musik), Nyak Ina Raseuki (Musik), dan Ratna Riantiarno (Teater). Dari hasil evaluasi tim seleksi tersebut, 4 seniman perempuan yang terpilih untuk mempertunjukkan karyanya, yakni:

  • Andara F. Moeis (koreografer, Jakarta)
  • Citra Pratiwi (sutradara, Yogyakarta)
  • Dwi Windarti (koreografer, Surakarta)
  • Gema Swaratyagita (komposer, Surabaya)

Surabaya menjadi kota pembuka dengan pertunjukan musik 'Laring: Sound of Differences' karya komposer Gema Swaratyagita pada 1 & 6 November 2012. Pertunjukan teater 'Mainan Dari Gelas' buah karya sutradara Citra Pratiwi akan menjadi gelaran kedua EWA di Yogyakarta pada tanggal 15 November. Disambung dengan pertunjukan tari 'Women On' oleh koreografer Dwi Windarti yang akan dipentaskan 16 November di Surakarta. Pertunjukan tari 'Memo, Lusion' oleh koreografer Andara F. Moeis pada Jumat, 23 November 2012 di Salihara, Jakarta, akan menutup rangkaian pementasan tahun pertama karya seni kreatif seniman perempuan peraih Empowering Women Artists periode 2012-2013.

Membidik tema menyuarakan perbedaan, komposer kelahiran Jakarta 28 tahun silam ini mengambil filosofi Laring, organ tubuh manusia yang berperan sebagai sumber bunyi. Tanpa laring, manusia tak akan mampu bersuara, bernyanyi, berteriak, bahkan berkomunikasi verbal. Lewat komposisi musiknya ini, Gema seolah ingin "menyindir" dunia masa kini yang masih enggan menghargai begitu banyaknya perbedaan, baik keyakinan, ras, sosial ekonomi, dan bentuk perbedaan-perbedaan lainnya. Kombinasi alat musik barat, tradisi, alam, dan tubuh manusia yang melebur menjadi sebuah 'Ordered Chaos'. Eksplorasi bambu sebagai salah satu media yang digunakan dalam komposisi musiknya, dilakukan Gema dalam upaya memberdayakan bambu sebagai sumber daya alam yang semakin menipis jumlahnya. Untuk hal ini, dia melakukan riset yang bekerja sama dengan BAFI (Bamboosa Forest Indonesia), sebuah LSM konservasi bambu. Tak hanya menggunakan alat musik bambu yang sudah ada seperti suling & angklung, wanita yang baru saja menyelesaikan studi Pasca Sarjana di Unesa tersebut dengan kreatif mengolah bambu itu sendiri menjadi sumber bunyi baru. Aneka bagian bambu seperti beras bambu, batang bambu, serta beberapa potongan bambu lainnya dimanfaaatkan sebagai sumber bunyi di dalam komposisi musiknya. Bahkan bel angin yang biasanya digunakan sebagai aksesoris di rumah juga turut dilibatkan sebagai instrumen musik.

[caption id="attachment_215086" align="aligncenter" width="800" caption="Suasana pertunjukan musik Laring"]

13521994421063730681
13521994421063730681
[/caption] Membagi pertunjukannya ke dalam 5 bagian, Swara Swari Swaru, Rumbu, Laring Larung, Krusuh, dan Swaring, eks keyboardist band Flip-Flop ini mencoba untuk menggabungkan instrumen piano, rebab, alat musik bambu, dan suara vokal. Dibuka dengan penampilan grand piano yang dimainkan Gema, berkolaborasi dengan alat musik perkusi, rebab, gasing bambu, dan suling, nada-nada yang mengalun tak beraturan, bak sihir yang membuat bulu kuduk merinding, pertunjukan berdurasi satu setengah jam ini pun mengundang decak kagum dan menuai pujian dari para hadirin & tamu undangan. Pesan yang ingin disampaikan Gema melalui komposisi musiknya ini, bahwa mempermasalahkan perbedaan adalah suatu kesalahan yang melawan kodrat. Sebab pada hakikatnya, perbedaan itu sendiri sudah mempunyai haknya sebagai kehadiran yang sah. Tinggal bagaimana menyalurkan perbedaan-perbedaan itu untuk saling melengkapi dan saling menghormati. Perbedaan itu sendiri dapat menjadi senjata pemusnah dan menimbulkan efek yang maha dahsyat jika tak disikapi secara bijak.

*NOTE : foto & artikel disadur dari halaman twitter Laring Project & berbagai sumber.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun