Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Drone, Tenaga Kerja Asing, dan Belum Siapnya Kita untuk Persaingan Global

12 Juni 2021   14:45 Diperbarui: 12 Juni 2021   15:41 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar seminggu yang lalu, saya bertemu dengan salah seorang keluarga yg bekerja di perusahaan konstruksi. Di salah satu proyek yang sedang dikerjakannya, ternyata membutuhkan pemakaian drone untuk mendokumentasikan progres pembangunan yang sudah hampir selesai. Tetapi kata dia, tidak ada satu orang pun pegawai di perusahaan tersebut yang berani mengoperasikan drone. Pada akhirnya saudara saya inilah yang ditunjuk untuk mengoperasikan drone tersebut karena dia yang paling muda dan kebetulan sudah pernah mempelajari cara menerbangkannya.

Hal seperti ini lumrah terjadi di Indonesia. Seperti kita yang sering memakai tukang untuk membangun rumah yang hanya sekedar belajar menjadi tukang dari ayahnya. Tidak masalah bukan lulusan teknik atau apapun yg penting hasilnya sesuai dan harganya murah. Atau memanggil tukang service AC yang tidak memiliki pendidikan formal apapun tentang teknik elektronika dan hanya memiliki bekal belajar dari pengalaman pernah bekerja di perusahaan servis AC sebelumnya. 

Kembali soal drone tadi, mungkin tidak banyak yg tahu bahwa mengoperasikan drone ternyata ada lisensi atau sertifikatnya. Bahkan hal sesederhana mencuci pakaian (laundry), ilmunya tidak gampang. Ada program Diploma 1 sampai Diploma 3 yang bisa diambil melalui kursus atau sekolah pariwisata dan perhotelan yg mengkhususkan diri dalam bidang hospitality, tetapi berapa banyak dari laundry yg kita temui di jalan-jalan yang tidak memiliki background mengenai keahlian tersebut dan pada akhirnya baju kita tertukar dengan orang, kain rusak karena tidak tahu cara perawatannya atau warna menjadi pudar.

Kebiasaan di Indonesia tersebut memang biasa kita terima seperti itu. Toh, jika kita benar-benar mencari tenaga atau ahli yg bersertifikat tentu saja harus membayar lebih mahal. Tetapi bagaimana kasusnya jika ada orang dari luar Indonesia yg membutuhkan keahlian semacam itu? Maukah mereka untuk menggunakan tenaga tanpa keterampilan formal?

Salah satu Dosen yang pernah mengajar di Corporate University tempat saya bekerja pernah menyampaikan hal tersebut. Di Indonesia ini banyak perusahaan asing yang berinvestasi. Yg paling banyak tentu saja dari Jepang, Korea, Uni Eropa, Amerika dan China. Saat mereka membangun pabrik, tentu saja pasti akan mencari perusahaan konstruksi yg kompeten dengan sertifikat konstruksi dan portofolio proyek yang dikerjakan sesuai dengan yg mereka mau. Hal tersebut bisa disediakan dan banyak sekali perusahaan Indonesia yg mampu. Tetapi bagaimana dengan hal lainnya?

Misalnya saat ini pemerintah sedang membangun Kawasan Ekonomi Khusus di Tanjung Kelayang. Ada perusahaan asal Korea yg berinvestasi disana, tentu saja mereka membutuhkan konsultan pajak untuk menghandle semua administrasi perpajakannya. Tetapi apakah ada SDM yang memiliki sertifikat Brevet B di kota kecil seperti Tanjung Kelayang? Opsinya adalah mau tidak mau, mereka harus mendatangkan SDM dari daerah lain.

Hal seperti itu juga yang terjadi dengan tenaga kerja asing yg didatangkan ke Indonesia. Memasang mesin dan mengoperasikannya, tidak hanya membutuhkan keahlian tetapi juga sertifikasi. Dari sekian banyak orang Indonesia masa iya tidak ada yg bisa? Ya tentu saja ada tapi kemungkinannya mereka sudah bekerja di perusahaan lain, atau tidak berdomisili di daerah lokasinya dibangun pabrik tersebut, atau sebenarnya bisa tetapi tidak memiliki sertifikat untuk membuktikan keahliannya. Sayangnya, isu tenaga kerja asing ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak sampai menjadi berita nasional yang entah apa tujuannya. 

Sertifikasi itu penting.

Bayangkan jika situasinya dibalik, perusahaan pengolahan gula PT Gulaku dari Indonesia diundang untuk berinvestasi ke Papua Nugini. Segala hal dipermudah oleh Pemerintah Negara Papua Nugini. Sayangnya lokasi pabriknya bukan di Port Moresby (Ibukota Negara) tapi di kota kecil bernama Poppndetta. Saat akan mengoperasikan pabrik, ternyata SDM dikota tersebut tidak ada yg pernah mengoperasikan mesin pengolahan gula. Opsinya hanya dua, membajak tenaga kerja dari perusahaan yg sudah memiliki keterampilan mengoperasikan mesin sejenis tetapi dengan resiko harus membayar mahal diatas gaji mereka di perusahaan sebelumnya, atau merekrut tenaga kerja dari Indonesia dan mengirimnya ke Poppndetta dengan resiko akan banyak penolakan dan isu-isu dari masyarakat sekitar kota Poppndetta bahwa investasi perusahaan dari Indonesia ini tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar dan tidak mau menggunakan tenaga kerja lokal.

Jalan tengah yg biasanya diambil adalah tetap merekrut "sementara" tenaga kerja dari Indonesia sambil "melatih" SDM lokal supaya bisa mahir dalam melakukan pekerjaannya. Tetapi pelatihan disini adalah pelatihan secara informal. Jika suatu saat ada seorang tenaga kerja lalai dalam pekerjaannya dan mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan kerja, atau berefek buruk ke lingkungan sekitar pabrik (ledakan, kebakaran, dll) dan muncul tuntutan hukum, perusahaan bisa terkena masalah jika mempekerjakan seseorang yg tidak ahli di bidangnya. Ahli yg dimaksud tidak hanya ahli secara nyata tapi memiliki sertifikat keahlian di bidangnya. Alasan inilah yg mendasari banyak perusahaan asing di sekitar kawasan industri Cikarang dan Karawang sering mengirim karyawannya untuk menjalani pelatihan di Jepang. Dan tentu saja, ini membutuhkan biaya. Dalam kasus PT Gulaku tadi berarti karyawan lokal dari Poppndetta harus dikirim ke Jakarta untuk menjalani pelatihan dan sertifikasi.

Dari sudut pandang perusahaan, jika hanya mengambil keputusan dari sisi bisnis, tentu saja sejak awal mendatangkan karyawan dari Indonesia ke Poppndetta adalah opsi yang paling ekonomis. Tetapi dalam hal praktek bisnis yg baik, tentu saja ini harus dihindari karena walaupun tiap perusahaan memiliki program CSR untuk tanggung jawab sosial, tetapi tidak merekrut tenaga kerja lokal sama sekali berarti tidak ada nilai tambah secara ekonomis yang diberikan ke masyarakat sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun