Mohon tunggu...
Kornelius Ginting
Kornelius Ginting Mohon Tunggu... Administrasi - Lelaki Biasa

-”Scripta manet verba volant”. https://www.korneliusginting.web.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Kepergian Bayi Debora

9 September 2017   20:13 Diperbarui: 10 September 2017   05:17 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Dan media mengeksposnya, mulai dari biaya yang tidak sanggup dipenuhi pasien untuk uang muka atau sanggahan lain dari rumah sakit yang menyatakan orang tua keberatan dengan biaya yang disodorkan.

Saya mencoba melihat dari kedua belah pihak, jawabannya kok bertentangan, yang satu merujuk yang lain tidak mau menerima sementara yang lain mengatakan, lah situ yang ngga cocok dengan tarifnya (sambil berkata kalau ngga cocok cari yang lain)

Ngga pernah diekspos media (atau mungkin juga pernah) ketika orang datang dalam keadaan darurat, yang diprioritaskan adalah tindakannya bukan tarifnya. Etapi nanti pihak rumah sakit pasti bakal protes keras, enak aja. Semua yang darurat kami pasti proses tapi pasti ada biaya lanjutannya. Nah biaya lanjutannya ini yang beda-beda antar rumah sakit. 

Alih-alih (seandainya bayi Debora) sudah melewati masa krisis dan butuh perawatan lanjutan rumah sakit berharap besar agar perawatan dilanjutkan dengan biaya hanya rumah sakit saja dan Tuhan saja yang mengetahui (lah pasien, cukup diberi rinciannya saja) palingan hanya bisa diperiksa benar tindakan dan obat yang diberikan jangan sampai ditulis 2 kali.

Demi mendengar bayinya menangis keras sang ibu berharap sudah ada kemajuan. Dan kemajuan itu dibahas dengan bahasa yang kembali lagi ujung-ujungnya duit. Kalau mau lebih baik lagi harus masuk ruang khusus yang mensyaratkan ketersediaan uang muka. 

Demi melihat buah hatinya pulih, di iyakan konsekuensi apapun akan dihadapi. Tapi siapa sangka rumah sakit tidak butuh janji atau konsekuensi apapun juga yang dibutuhkan hanya uang. Tidak ada uang muka (meskipun ada janji dan konsekuensi apapun) tidak ada perawatan lanjutan.

Dan ketika Debora memutuskan untuk kembali ke pangkuan Tuhan, baru gejolak itu muncul. 

Kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam pemikiran saya.

Harapan saya dari berita Debora ini, rumah sakit juga bersuara lantang tindakan apa saja yang sudah mereka lakukan demi menyelamatkan Debora dan reputasi paramedis dan juga rumah sakit. Mungkin kalau bisa  sampai ditampilkan tindakan  apa saja yang sudah dilakukan dan dinilai oleh komite medis yang profesional bukan internal. Sehingga dari tindakan dan biaya yang diminta rumah sakit masuk akal, bukan seperti yang terjadi selama ini gelap dan tidak mau diperbandingkan.

Sementara itu pasien juga harus "fair enough" juga ketika membawa keluarga ke rumah sakit harus bersedia membayar semua kebutuhan dan keperluannya. Lalu kalau tidak mampu (setidaknya negara dengan BPJSNya) akan melihat atau melakukan sesuatu untuk warga negaranya yang tidak mampu. Tapi perlu dipikirkan juga bagaimana mengetahui dan mencegah agar warga yang mampu jangan  berpura-pura tidak mampu. 

Jelas di Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 diatur, tepatnya pasal 32 dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelematan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.Bahkan dipasal yang sama ayat berikutnya, dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun