Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Lainnya - Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pahami Macam-Macam Nafs dalam Diri Manusia

28 Januari 2022   00:31 Diperbarui: 28 Januari 2022   00:39 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ketika manusia lahir di dunia, maka secara naluriah Ia memiliki potensi yang sudah Tuhan berikan kepadanya. potensi tersebut bisa berupa hal naluriah maupun batiniah. Hal tersebut menjadi alat komunikasi manusia untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta, apabila manusia kehilangan atau tidak menyadari potensi tersebut tentu Ia akan kehilangan arah dan tujuan hidupnya di dunia. oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, izinkan penulis menyampaikan secercah pengetahuan tentang potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hal ini guna memberikan pengetahuan kepada para pembaca khususnya penulis sendiri untuk menjalani kehidupan dan dinamikanya dengan berbagai dimensinya yang begitu rumit dan hanya sebagian kecil dari manusia mengetahui hal tersebut. pada tulisan kali ini, penulis menyuguhkan tentang macam-macam Nafs yang ada di dalam diri manusia. berikut penjelasannya, semoga bermanfaat.

  • Common Sense (Pengertian Nafs)

 Dalam Buku Psikologi Sufi, Robert Friger mengatakan, "One of the most common terms in Sufi psychology is the nafs, or the self. This is sometimes translated as "ego" or "soul". Other meanings of nafs include "essence" and "breath". However, in Arabic, nafs is most commonly used asa "self": for example, in everyday words like myself and yourself. When most Sufi authors use the term nafs, they refer to our negative traits and tendencies. At its lowest level, the nafs is that which leads us astray. We all struggle to do those things we clearly know we should do. We often struggle even harder to avoid those actions we know are wrong or harmful."

Salah satu istilah paling umum digunakan oleh psikologi Sufi ialah nafs, atau dalam bahasa indonesia diartikan diri.  Istilah ini kerap diterjemahkan sebagai "Ego" atau "jiwa". Makna lain nafs adalah "intisari" dan "napas". Tetapi, di dalam bahasa Arab, nafs ini umum dipakai sebagai "diri", dalam artian lain atau jika meminjam bahasa sehari-hari: "Seperti diriku dan dirimu".

Pada tingkatan yang terendah, nafs ialah yang membawa kita pada kesesatan, dan pada hal tersebut kita dituntut untuk berjuang melakukan hal-hala yang jelas kita ketahui dan baik untuk kita. Kemudian kita dituntut untuk berjuang menghindari hal-hal yang kita ketahui buruk dan dapat merusak. Dalam hal ini, mengapa kita dituntut untuk berjuang? Sebab, ketika pikiran kita satu, dalam artian satu tujuan dengan insting/nurani kita maka tentu tidak akan ada sitilah berjuang. Akan tetapi, faktanya pola pikir kita terkadang terbagi pada beberapa hal. Bahkan, pada saat kita meyakini terhadap suatu hal yang menurut salah satu pikiran kita benar, tentu akan ada sebahagian dari diri kita berupa dorongan yang secara tidak sadar menyuruh untuk melakukan tindakan sebaliknya. Bagian tersebut ialah diri rendah (hawa nafsu), terkhusus padsa tingkatan terendah nafs kita yakni nafs tirani.

Lebih lanjut, nafs merupakan bagian dari proses yang dihasilkan antara ruh dan jasad, meskipun pada dasarnya bukanlah struktur psikologis yang bersifat statis. Tapi, tidak menutup kemungkinan proses gesekan/gejolak yang timbul dari jasad dan ruh tersebut dapat saja menyimpang . hal ini  dikarenakan pada saat ruh bertransformasi ke dalam jasad, maka secara alamiah akan terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs tersebut mulai membuntuk pembaharuan baru di dalam jasad. Dengan demikian, ruh pun menjadi terpenjara di dalam benda bersifat immateri itu tadi dan memulai menyerap aspek-aspeknya.

Kemudian, dikarenakan nafs berakara di dalam jasad dan ruh, dan mencakup kecenderungan material juga spiritual. Pada mulanya, aspek material ini pun lebih dominan, sehingga nafs ini pun tertarik kepada kesenangan yang bersifat duniawi. Segala hal yang bertsifat materi secara ilmiah memiliki kecenderungan kepada dunia materi. Ketika nafs bertransformasi, ia menjadi lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertarik dengan hal yang bersifat keduniawian.

Banyak penulis Sufi yang telah menulis tentang tujuh tingkatan perkembangan nafs berdasarkan Al-Qur'an, salah satunya ialah Robert Frager, seorang Sufi sekaligus penulis. Menurut Robert Frager, nafs ini terdiri dari tujuh macam diantaranya yakni: Nafs Tirani, Nafs Penuh Penyesalan, Nafs yang Terilhami, Nafs yang Tentram, Nafs yang Rida, Nafs yang Diridai Tuhan, dan Nafs yang Suci. Ada pun penjabaran dari macam-macam nafs tersebut sebagai berikut.

  • The Tyrannical Nafs (Nafs Tirani)

This stage, the nafs ammara, has also been translated as the "commanding nafs", the "domineering nafs", or the "nafs that incities to evil." The term ammara literally means "to habitually or repeatedly command," so this stage might even be called the "nagging nafs", the tyrannical self attempts to dominate us and to control our thought and actions. Unfortunately, it is often seuccessful. When speaking of the nafs in general, many Sufi authors refer only to this lowest station of the nafs. The Koran describes it thus: "The tyrannical self cernatainly impels to evil, unless my Lord bestows Mercy upon me." (12:53)

Nafs tirani atau bisa dikatakan dengan tingakatan nafs ammarah ini juga diartikan sebagai "Nafs yang memerintah", "Nafs yang mendominasi", atau "Nafs yang membujuk pada hal kejahatan." Istilah ammarah secara literal berarti "perintah atau kebiasaan yang berulang-ulang." Pada tingkatan ini dapat dikatakan juga sebagai "nafs yang mengganggu." Nafs tirani ini berusaha mendominasi dan mengambil alih pikiran serta tindakan kita. Buruknya, nafs ini seringkali berhasil mendominasi dan mengendalikan diri kita. Bahkan, kita seringkali tidak sadar bahwa kita sedang dikendalikan oleh nafs tersebut. Mayoritas para penulis sufi merujuk hanya pada stasiun terendah dari nafs ini. Al-Qur'an pun menggambarkannya sebagai berikut. "...Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Di dalam Al_Qur'an, kata kerja ammarah, yakni "memerintah" seringkali dipakai. Ia secara umum merujuk pada perintah-perintah Tuhan. Salah satu contoh, "Tuhan memerintahkan kaum beriman untuk bermurah hati dalam bersedekah." Bentuk intensif pada kata ammarah digunakan hanya satu kali, yakni pada ayat Al-Qur'an di atas. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk berbuta sebaliknya, di bawah pengaruh diri tirani ini, perintah-perintah diri yang rendah ini lebih kuat dari perintah-perintah Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun