Mohon tunggu...
Elly Nagasaputra MK CHt
Elly Nagasaputra MK CHt Mohon Tunggu... Administrasi - Konselor Pernikahan dan Keluarga

Konselor Profesional yang menangani konseling diri, konseling pra-nikah, konseling pernikahan, konseling suami istri, konseling perselingkuhan, konseling keluarga. www.konselingkeluarga.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Menjaga" Anak Setelah Perceraian

9 April 2018   08:35 Diperbarui: 9 April 2018   09:13 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.theodysseyonline.com

 Mematahkan Stigma

Setelah delapan belas tahun mengarungi rumah tangga bersama, Andika (45) dan Risma (39) memilih untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Hubungan mereka yang terus panas dengan pertengkaran sejak Andika ketahuan selingkuh dan tidak mau memutuskan hubungan dengan selingkuhannya, membuat kehidupan pernikahan mereka tak lagi sehat.

Awalnya, ketiga anak mereka yang berusia 16, 14, dan 10 tahun masih menjadi alasan utama Risma untuk bertahan dalam pernikahan. Tapi setelah enam bulan mencoba, rasa dikhianati yang mendalam di hatinya, keengganan Andhika untuk bertobat dan
"berobat" pada Konselor Pernikahan untuk menyelesaikan perselingkuhannya secara tuntas,  membuat Risma tak bisa lagi bersama Andika. Keputusan Andika dan Risma sudah bulat untuk bercerai. Gugatan ceraipun sudah Risma kirimkan ke Pengadilan Agama, tinggal menunggu persidangan berlangsung.

Meski hubungan Risma dan Andika panas, tapi keduanya sama-sama satu pikiran soal anak. Mereka tidak ingin ketiga anaknya yang beranjak dewasa terbawa masalah perceraian orang tuanya. Risma tak ingin anak-anaknya mendapat cap anak-anak broken homeyang bermasalah. Mereka berusaha meminimalisir dampak negatif perceraian mereka pada anak-anaknya.  

Ada stigma di masyarakat bahwa anak-anak dari keluarga broken home (orang tuanya bercerai) tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah, terlibat pergaulan yang salah, narkoba, dan pornografi. Padahal ini adalah stigma yang keliru. Tidak selamanya anak yang dari keluarga yang bercerai akan tumbuh sebagai anak bermasalah.

Selama sembilan tahun menjadi Konselor Pernikahan, dan menangani cukup banyak kasus Konseling Pra-Perceraian (agar anak dan orang tua siap menghadapi perceraian) saya menemui banyak anak yang bisa melewati fase gelap bubarnya pernikahan orang tua mereka dengan daya adaptasi yang cukup baik dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang berprestasi dan sukses dalam kehidupannya, yang tentu saja karena adanya proses pendampingan secara profesional oleh Konselor kepercayaan keluarga. Intinya adalah bagaimana anak dapat siap menghadapi menghadapi perceraian orang tuanya.

Mempersiapkan Anak Melewati Fase Gelap Perceraian

Ketika pasangan telah membuat keputusan untuk bercerai, maka mereka sebaiknya berkonsultasi pada Konselor Profesional untuk membahas mengenai proses perceraian, secara detail dari A hingga Z.  Bercerai tanpa persiapan hanya akan memperburuk  situasi dan kondisi, baik kondisi orang tua dan terutama sekali kondisi anak, baik secara mental maupun emosional. 

Perceraian sudah pasti akan menimbulkan dampak negatif pada anak. Tapi dampak tersebut bisa besar atau kecil. Nah, tujuan dari konseling adalah agar dampak negatif perceraian bisa ditekan seminimal mungki dan juga untuk mengelola begitu banyak emosi negatif yang timbul karena adanya perceraian, adanya kemarahan, perasaan terluka, "terkhianati" oleh orang tua yang harusnya ada disisi mereka, sedih berkepanjangan, rasa ketakutan dan putus asa. Hal-hal seperti ini, jika tidak hilang bisa menjadi masalah bagi anak dan jika membekaspun akan memberikan kontribusi buruk pada masa depan mereka.

Ketika anak-anak tidak dalam keadaan siap untuk melewati masa-masa perceraian orang tuanya, ia bisa saja terjerumus dalam pergaulan yang buruk. Rasa takut, kesepian, ditinggalkan, dan tidak tahu harus ke mana mencari sandaran karena ketidakhadiran orang tua, akan menempatkan anak seperti layangan lepas. Kondisi yang memungkinkan anak mencari sendiri peer group dan pelariannya.  Dan sangat mungkin jatuh di peer group yang "salah" sehingga makin memperunyam kondisi yang ada .

Untuk mengantisipasi hal tersebut orang tua yang bercerai perlu memberdayai anak dengan proses pendampingan yang tepat, dilandasi dengan pengetahuan psikologis yang cukup, sehingga anak dapat dimampukan untuk menghadapi proses perceraian orang tuanya dengan cukup baik.

Proses perceraian kedua orang tuanya adalah merupakan proses yang sangat tidak menyenangkan dalam kehidupan seorang anak, sehingga sangat dibutuhkan pendampingan secara profesional untuk emosional dan mental mereka. Tanpa pendampingan yang tepat,  anak akan terjerembab dalam keputusasaan dan  hal itulah yang akan membuat mereka terjerumus dalam hal-hal yang negative.

Ketika orang tua sudah bulat tekad untuk bercerai, maka yang harus dilakukan orang tua adalah memberitahukan atau menyampaikan kepada anak tentang keputusan bercerai tersebut. Jangan berdiskusi soal perceraian dengan anak, karena ini hanya akan menambah berat pikiran anak. Jangan menunggu keputusan pengadilan dulu, orang tua sudah harus mempersiapkan dan membekali anaknya untuk perjalanan baru sebagai keluarga yang sudah tidak utuh lagi, jauh-jauh hari sebelumnya.

Penting untuk dipahami pasangan yang memutuskan bercerai, bahwa yang hilang dari sebuah perceraian adalah hubungan status suami istri. Sedangkan hubungan Anda sebagai ayah atau ibu dari anak Anda  tidak akan pernah hilang selamanya. Dalam hal ini, anak perlu diberi pemahaman, meski orang tua mereka sudah tidak bersama-sama lagi dalam satu atap dengan mereka, tapi masih tetap ayah dan ibu mereka.  

Seorang Konselor Pernikahan akan mendampingi orang tua bagaimana berbicara dengan anak ketika menyampaikan informasi tentang perceraian orangtua. Segala hal akan dipersiapkan dalam konseling pra-perceraian. Termasuk juga membicarakan mekanisme co-parenting di kemudian hari. Dimana tidak tertutup kemungkinan dalam jangka panjang anak-anak ini akan mendapatkan ibu atau ayah baru. Dengan persiapan yang matang, dampak negatifnya bisa ditekan serendah mungkin.

Konselor Pernikahan dalam sesi Konseling Pra-Perceraian juga akan membantu pasangan dalam menentukan pembagian tanggung jawab perawatan anak dan dengan siapa anak akan tinggal, pembiayaan, pengaturan relasi dengan keluarga besar, dan berbagai hal njelimet lainnya.  Berbagai masalah kejiwaan yang mungkin timbul dari anak juga harus diantisipasi dengan matang.

Tidak ada keluarga yang menginginkan perceraian. Namun perceraian merupakan fakta hidup yang kadang tak terhindarkan terjadi. Dan anak-anak yang di dalam keluarga yang bercerai jelas merupakan tanggung jawab besar bagi suami istri yang akan bercerai, untuk dapat mempersiapkan mental dan emosional mereka sebaik mungkin.

Bekerja sama dengan Konselor Pernikahan untuk mempersiapkan yang terbaik, menekan serendah mungkin efek negatif yang mungkin timbul baik saat ini serta persiapan kedepannya, mengantisipasi segala hal yang akan terjadi dalam masa tumbuh kembang anak-anak tanpa orang tua yang utuh.

Salam Sejahtera

Elly Nagasaputra, MK, CHt

Marriage Counselor & Hypnotherapist

www.konselingkeluarga.com

www.klinikhipnoterapijakarta.com

- healing hearts -- changing life -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun