Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

[Obituari] Thamrin Sonata, Perpustakaan Berjalan dari Kompasiana

3 September 2019   18:28 Diperbarui: 4 September 2019   11:49 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thamrin Sonata (kanan) dalam acara bedah buku Toleransi pada Selasa, 19 Maret 2018 di Kantor Kompasiana, Palmerah Barat. (Dokumentasi Komunitas KutuBuku)

Jika sebuah frasa "Thamrin Sonata" berdiri tunggal, bagaimana kiranya kamu akan memberi arti atau makna?

Bila itu berasal dari membaca dan menulis, kamu akan tahu seperti apa kelak frasa "Thamrin Sonata" itu: seorang yang sangat mencintai bahasa sebagai sebuah kesenian.

Sebagai contoh, pada September 2012, tulisan yang kali pertama ia tayangkan di Kompasiana yaitu Bahasa Pilihan Kita.

Lewat tulisannya itu, tentu saja, alih-alih kita diberi tutorial mengenai cara menggunakan bahasa yang baik dan benar, tapi justru sebaliknya.

"Coba saja kita amati di ruang-ruang publik, dialog dominan keseharian kehidupan kita,dan di era digital ini membuncahlah kosa kata (baru): aneh, lucu dan bisa bak pembebasan dari makna," tulisnya.

Bahasa, pada akhirnya, berkembang dan semakin beragam. Bahwa setiap individu bisa merdeka dari bahasa yang bisa digunakan: antara warga biasa dan penyair, antara yang menggampangkan dan mengindahkan.

Tidak ada yang keliru atas itu. Inilah bahasa. Inilah bahasa Indonesia yang tak bisa lagi disimpulkan baik dan benar.

***

Thamrin Sonata bergabung dengan Kompasiana pada 22 September 2012. Sepanjang mengikuti segala kegiatan di Kompasaina, paling tidak, kita akan mengenalnya sebagai orang yang menyukai hal-hal yang bersinggunangan dengan seni dan budaya.

Menulis jadi rutinitasnya. Membaca adalah kesukaannya. Dan (membuat) buku, merupakan cara sederhana mengabadikannya.

[Baca juga: Thamrin Sonata Akan Terus Memperkaya Pembacanya]

Yang terpenting, tulisnya, bukan mempunyai buku dari karya sendiri tetapi yang jauh lebih berharga yakni setiap penulis punya niat dan semangat untuk berlitarasi.

Bersama para penulis lain di Kompasiana, Thamrin Sonata mengajak untuk membuahkan bahan bacaan yang dibutuhkan untuk lingkungannya.

Memberikan warna pemikiran yang lebih humanis. Sebab, akan selalu ada yang bisa ditawarkan itu tak sekadar ilmu dan hapal-hapalan semata.

***

Buku itu, menurut Thamrin Sonata, selazimnya sebuah kata benda dan kata kerja.

"Ia digali dengan kita membacanya secara saksama," lanjutnya.

Hal itu kemudian mengingatkannya manakala buku pertama Thamrin Sonata diterbitkan tahun 1982.

Yang tidak ia diduga, 17 tahun setelah itu, barulah bertemu dengan objek yang dituliskan ketika itu, Emil Salim.

Pada sebuah pertemuan diskusi perihal ekonomi dan politik di Menteng, Pak Emil Salim menenteng buku Thamrin Sonata sambil meminta tanda tangannya.

"Tidak sah kalau buku ini tidak ditanda tangani penulisnya," ujarnya, ketika itu.

Namun, bagaimana dengan nasib buku yang serba digital ini? Masihkah romansa seperti itu bisa dialami oleh penulis-penulis sekarang?

Apalagi kini menulis menjadi mudah. Karena itu pula kita bisa menulis kapan pun untuk membuat tulisan.

Sehingga akan hadir tulisan bermarwah, tulisan yang berserak itu bisa dikumpulkan dan dibukukan.

Maka, menurut Thamrin Sonata, penulis sungguhan akan punya karya yang lebih monumental --atau panjang usianya.

***

"Saya kira kenapa buku itu tak diminati satu di antaranya takkan membuat seseorang mati karenanya. Persisnya, seseorang tak membaca (buku) dan ia bisa hidup seperti biasanya. Hanya, ia kurang pengetahuan. Itu saja!"

Pendapat Thamrin Sonata terkait itu berdasar pada dengan minat keliterasian terus ditingkatkan, seperti beberapa menit sebelum pelajaran pertama sekolah di bangku Sekolah Dasar atau Menengah digeber.

Oleh karenanya, dugaan Thamrin Sonata, GLS (Gerakan Literasi Sekolah) khawatir akan menjadi gerakan yang sekadar wacana.

Semangatnya selalu sama: mulailah dengan menulis, karena dengan menulis seseorang butuh membaca.

Senada dengan pesan yang ia dapat ketika bertemu dengan Pramudya Ananta Toer.

"Karena kita ini bukan siapa-siapa, maka menulislah, agar tak dilupakan zaman," ingat Thamrin Sonata ketika bertemu dengan Pram di rumahnya daerah Utan Kayu, Jakarta Timur.

Lalu, 11 Agustus 2019, Thamrin Sonata menuliskan sosok yang ia idolakan itu. Tentang Bumi Manusia yang dialih-mediakan dari novel menjadi film.

Kebutuhan akan cerita film dari novel adalah sebuah kebutuhan konkret dan niscaya. Meskipun terjadi tarik-ulur," tulis Thamrin Sonata pada esai Perburuan Novel dalam Mem"Bumi Manusia"kan Film Negeri Dewek.

Namun, lanjutnya, pada novel biasanya disebabkan oleh cerita yang sudah komplet. Di sisi lain, ketika berubah menjadi film (sinema), tentu membutuhkan bahasa sinematografis.

Itu merupakan tulisan terakhir Thamrin Sonata di Kompasiana. Tulisan yang merupakan sebuah jawaban atas tantangan yang diberikan oleh komunitas KomiK.

Tapi ada satu bagian dari tulisan itu yang menarik, mungkin, bisa menjadi penyemangat kita sebagai orang yang ingin hidup dari menulis dan/atau menjadi penulis:

"Setidaknya ini era kebebasan dan milenial. Yang tak lagi terkungkung oleh kepentingan politik."

Riwayat Kepenulisan Thamrin Sonata di Kompasiana

  • Bergabung: 22 September 2012
  • Jumlah Artikel: 1.125.
  • Jumlah Keterbacaan: 614.998
  • Jumlah Komentar: 9.091
  • Jumlah Nilai: 9.696
  • Jumlah Headline: 71
  • Jumlah Pilihan: 628.

Terima kasih telah mengajarkan kami bagaimana caranya mencintai buku dan tulisan-tulisan yang telah kita hasilkan.
Selamat jalan, Thamrin Sonata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun