Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lika-liku Ngamen Ondel-ondel: Razia, Diusir Satpam, dan Bentrok dengan Pengamen Lain

22 Juni 2019   11:11 Diperbarui: 25 Juni 2019   05:59 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menurunkan Ondel-ondel dari Mikrolet. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

Mikrolet telah mereka sewa untuk mengantar ke pasar Kebayoran. Kemudian, ondel-ondel diikat di atas mikrolet dan perlengkapan ngamen satu-per-satu di masukan. Bersama keempat orang dari Sanggar Cahaya Kelvin, aku, Havis dan Kevin diajak untuk ikut mereka ngamen.

Lagu berjudul Ujung Aspal Pondok Gede dari Iwan Fals mengawali pemberangkatan kami. Semakin lirih saja lirik lagu itu ketika salah seorang di antara tim itu menyanyikannya.

"Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota. Terlihat, murung wajah pribumi, terdengar langkah hewan bernyanyi," nyanyi lelaki tersebut mengikuti lagu yang diputar dari gerobak kecil yang digunakan untuk mengamen.

Sedangkan dalam perjalanan itu, sempat kami lihat beberapa orang tengah berdemo dan membakar ban di depan gedung pemerintahan.

"Kerja woy, demo mulu," teriaknya kepada yang berdemo yang padahal tengah bernyanyi. Mobil melintas begitu saja.

Ia mengisap dalam-dalam rokoknya, mengembuskan asapnya, sambil melanjutkan lirik lagu tadi "namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri// satu per-satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali."

Ada yang kemudian baru aku sadari: bahwa teriakan yang tadi kepada pendemo seakan menggambarkan bahwa betapa berat dan keras hidup di Ibu Kota.

Mikrolet membawa Ondel-ondel. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion
Mikrolet membawa Ondel-ondel. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

Di saat ada yang tengah berjuang dengan cara demo, mungkin ia menduga ada sebagian kelompok orang yang bisa dapat uang dengan cara seperti itu. Sedangkan ia dan ketiga temannya yang ada di dalam mikrolet mesti bersusah payah bekerja dari sore-malam, berjalan kaki dari satu perkampungan ke perkampungan lain, demi menjaga kelestarian kebudayaan Betawi, ondel-ondel.

***

Tadinya kami kira setelah sampai di pasar Kebayoran bisa langsung berangkat keliling ngamen. Ternyata tidak, kami dibawa ke sebuah ruko tidak terpakai, beristirahat sambil siap-siap.

Baca: Bertahan Hidup dari Ondel-ondel.

Ondel-ondel dirias. Dipasangi umbul-umbul di bagian kepalanya. Bajunya dirapihkan, diberi jarum peniti.

Merias Ondel-ondel sebelum mulai ngamen. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion
Merias Ondel-ondel sebelum mulai ngamen. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

Anto (29) yang telah ikut bergabung dengan Sanggar Cahaya Kelvin sekitar 3 tahun lalu mengaku, bahwa penghasilan dari ngamen ini cukup membantu hidupnya beserta keluarga.

"Daripada ngamen (pakai gitar) biasa, ngamen beginian lebih menghasilkan dan tidak terlalu capek, sebab ramai-ramai," kata Anto.

Dalam satu hari, timnya bisa membawa pulang uang masing-masing Rp 80-100 ribu untuk dibawa pulang ke rumah. Itu sudah termasuk potongan uang makan, ngopi, rokok, sewa mikrolet untuk pulang ke sanggar dan setoran.

Jika dirata-rata, kalau sedang sepi, setidaknya mereka masih bisa mendapatkan Rp 600 ribu per-hari. Nanti uang yang disetorkan ke sanggar cukup Rp 80 ribu saja.

Pemutar lagu yang disiapkan di gerobak kecil. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion
Pemutar lagu yang disiapkan di gerobak kecil. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

"Setoran Rp 50 ribu dan hasil jualan aksesoris Rp 30 ribu," kata Aoh (14), satu-satunya perempuan dan yang termuda di antara tim itu.

Selain ngamen ondel-ondel, rupaya mereka juga menjual kembang hias yang terbuat dari lidi dan kertas warna. Untuk satu kembang hias mereka jual seharga Rp 2000 saja. Setiap berangkat mereka membawa 30 batang kembang hias.

Amran (40) yang dulu bekerja sebagai supir bajaj, kini sudah 4 bulan bergabung dengan sanggar dan memantapkan dirinya untuk ngamen saja sebagai penghasilan utama.

Baca: Ondel-ondel, Dari Sangga hingga Jalan Besar.

"Walau nanti ada pekerjaan lain yang lebih baik mungkin akan pindah juga, tapi untuk saat ini ngamen ondel-ondel saja sudah cukup," katanya.

Sedangkan Aoh (14) yang sudah ikut ngamen sejak ia kelas 4 SD --ia hanya sekolah sampai kelas 6 SD dan tidak meneruskannya-- mengakui  kalau awalnya ia tidak boleh oleh orangtuanya ngamen ondel-ondel. Tapi karena niatnya memang membantu orangtua, akhirnya ia dibolehkan juga.

Aoh, pengamen ondel-ondel dari Sanggar Cahaya Kelvin.| Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion
Aoh, pengamen ondel-ondel dari Sanggar Cahaya Kelvin.| Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

"Dulu cuma dibolehin sama Ibu ikut yang hari minggu doang. Soalnya cuman (ngamen) dari pagi hingga siang," katanya.

Tapi apakah ngamen semenyenangkan itu? Cukup keliling kampung membopong ondel-ondel dan dapat penghasilan lumayan?

Baru selesai Havis bertanya seperti itu, Anto langsung menceritakan betapa sakit hatinya diusir dan dimarahi satpam swalayan karena tidak boleh masuk. Padahal, katanya, hanya di pelantaran swalayan, tapi tetap tidak boleh.

"Yang lebih sakit itu ketika dibentak-bentak di depan banyak orang. Malunya bukan maen," lanjutnya.

Bukan hanya itu, belum lagi jika bertemu pengamen ondel-ondel lain di tempat yang sama. Sekali waktu malah sampai ngaduk kedok (muka ondel-ondel ditabrakkan dengan ondel-ondel lainnya) sampai pecah.

"Biasa kalau udah begitu, kita jadi gak bisa lanjut keliling. Kita pulang dan lapor si bos. Nanti biar bos-bos saja yang menyelesaikan," ujar Aoh, ketika menceritakan pengalamannya itu.

Havis, dari Tim Kompasiana News, bersama pengamen Ondel-ondel istirahat di ruko. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion
Havis, dari Tim Kompasiana News, bersama pengamen Ondel-ondel istirahat di ruko. | Foto: Kompasiana/Kevin A. Legion

Untuk masalah terjaring razia, Anto juga pernah merasakannya. Cukup lama, hampir satu bulan katanya. Meski bukan karena ngamen ondel-ondel, tetapi ngamen (gitar) biasa. Ia mengaku betapa tidak enaknya ketika diinapkan di Kantor Dinas Sosial.

"Jadi yang ketangkep tuh dikumpulin di ruang kosong, rame-rame, tapi gak diapa-apain," katanya. "Disuruh makan-tidur-makan-tidur aja tiap hari."

Untungnya waktu itu keluarga datang menjemputnya dan ia dibebaskan juga.

 ***

Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan bermotor, begitu pula dengan Pasar Kebayoran. Kami mengikuti mereka sambil mengecrek ember bekas cat. Musik dimainkan. Ondel-ondel menari dengan menggerakan badannya ke kanan-kiri, behimpitan di antara kendaraan dan orang-orang berjualan.

Selama masih ada jalan yang bisa dilalui, mereka akan lewati. Masuk-keluar perkampungan atau perumahan. Dari satu pasar ke pasar lainnya. Dari satu jalan raya lanjut ke jalan raya lainnya.

Simak pula ragam opini/pendapat Kompasianer mengenai Ondel-ondel ngamen di jalanan: Ondel-ondel (nyang) Ngamen di Jalan, Bagen!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun