Amran (40) yang dulu bekerja sebagai supir bajaj, kini sudah 4 bulan bergabung dengan sanggar dan memantapkan dirinya untuk ngamen saja sebagai penghasilan utama.
"Walau nanti ada pekerjaan lain yang lebih baik mungkin akan pindah juga, tapi untuk saat ini ngamen ondel-ondel saja sudah cukup," katanya.
Sedangkan Aoh (14) yang sudah ikut ngamen sejak ia kelas 4 SD --ia hanya sekolah sampai kelas 6 SD dan tidak meneruskannya-- mengakui  kalau awalnya ia tidak boleh oleh orangtuanya ngamen ondel-ondel. Tapi karena niatnya memang membantu orangtua, akhirnya ia dibolehkan juga.
"Dulu cuma dibolehin sama Ibu ikut yang hari minggu doang. Soalnya cuman (ngamen) dari pagi hingga siang," katanya.
Tapi apakah ngamen semenyenangkan itu? Cukup keliling kampung membopong ondel-ondel dan dapat penghasilan lumayan?
Baru selesai Havis bertanya seperti itu, Anto langsung menceritakan betapa sakit hatinya diusir dan dimarahi satpam swalayan karena tidak boleh masuk. Padahal, katanya, hanya di pelantaran swalayan, tapi tetap tidak boleh.
"Yang lebih sakit itu ketika dibentak-bentak di depan banyak orang. Malunya bukan maen," lanjutnya.
Bukan hanya itu, belum lagi jika bertemu pengamen ondel-ondel lain di tempat yang sama. Sekali waktu malah sampai ngaduk kedok (muka ondel-ondel ditabrakkan dengan ondel-ondel lainnya) sampai pecah.
"Biasa kalau udah begitu, kita jadi gak bisa lanjut keliling. Kita pulang dan lapor si bos. Nanti biar bos-bos saja yang menyelesaikan," ujar Aoh, ketika menceritakan pengalamannya itu.