Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bagaimana Menyelamatkan Linimasa Twitter Kita dari Kampanye Politik?

13 November 2018   10:25 Diperbarui: 14 April 2019   20:01 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock

Kampenye Pemilu 2019 telah dimulai dan para kandidat secara terbuka menargetkan pemilih (dari generasi) Milenial sebagai "lumbung suara".

Segala cara dan upaya dikerahkan oleh masing-masing tim sukses demi bisa meraih target tersebut. Kampanye kreatif berbasis digital dijadikan prioritas utama. Sederhananya, siapa bisa meraih simpati pemilih (dari generasi) Milenial ini, besar kemungkinan akan menang dalam pemilihan.

Hipotesis tersebut belum bisa dibuktikan, tentu saja, tetapi langkah-langkah untuk mencapai itu sudah dilakukan.

Seperti yang kita tahu, media sosial telah menjadi medan pertempuran.

Dari sekian banyak platform media sosial, Twitter ialah medan pertempuran yang potensial. Selain menyajikan konten yang terus bergulir dalam hitungan detik, media sosial terbuka ini dapat mengakomodasi kebutuah  timses untuk berkampanye baik dalam bentuk tulisan, gambar, maupun video.

Selain itu, sampai saat ini Twitter masih dianggap sebagai media sosial yang mampu memengaruhi massa dalam jumlah yang banyak.

Dari laporan yang dibuat tim Twitter Indonesia, Cipluk Carita menjelaskan kalau pengguna Twitter di Indonesia menganggap platform ini paling kuat.

Ada 4 indikatornya yang menentukan mengapa Twitter bisa begitu dekat dan lekat dengan Milenial: (1) bahwa pengguna mengharap lebih dari "brand" yang mewakilinya; (2) lewat Twitter terjalin inisiatif manajemen yang menyatukan berbagai pihak; (3) banyak pembuat tren atau opinion leader yang menyampaikan ide maupun gagasannya di Twitter; dan (4) dalam pengambilan suatu keputusan, misalnya, masih banyak (dan mudah) yang dipengaruhi oleh satu-dua orang.

Mengacu pada riset yang dilakukan Nielsen Twitter pada Agustus 2015, ada sekitar 80 persen pengguna Twitter berusia 16-34 tahun. Dan, jika dirunut lagi, dari 80 persen pengguna Millenial, ada sekitar 58 persen yang menyukai video singkat. Sedangkan 54 persen pengguna mengatakan lebih mudah menemukan video baru di Twitter.

Dari segala dan upaya yang dilakukan politisi untuk mengambil hati pemilih (dari generasi) milenial, masih ada sebagian yang ingin "menyelamatkan" Twitter dari konten-konten yang melulu soal politik. Tagar MakeTwitterGreatAgain, misalnya, merupakan satu di antara banyak gerakan di Twitter untuk "menyerang balik" konten-konten bermuatan politik.

Selebtweet kenamaan seperti Ardibhironx menjelaskan tagar MakeTwitterGreatAgain (MTGA)muncul ketika sekarang rasa-rasanya semakin sulit untuk bercanda di Twitter.

"Kalo dulu bercandaannya apa aja gak jadi masalah, literally apa aja," katanya, ketika ditanya tentang gerakan MakeTwitterGreatAgain tersebut.

Hal itu sejalan dengan lebih mudahnya orang-orang di Twitter yang mudah tersinggung.

"Kalo sekarang boro-boro, mau bercanda aja mikir-mikir dulu "kira-kira ini bakal jadi masalah gak yah?" Gitu," lanjutnya.

Namun, kemungkinan lainnya menurut Ardibhironx yaitu Twitter sempat sepi dan ditinggal penggunanya yang pindah ke platform lain seperti Instagram dan YouTube.

"Nah mungkin MTGA itu semacem spirit buat bikin twitter asik lagi, salah satunya ya itu hestek #RecehkanTwitter. IMSO sih, In My Sotoy Opinion. wlwlwlwl," ujarnya.

***

Jagad twitter, tulis Franciano Permadi, akhir-akhir ini memuat banyak konten politik di dalamnya. Mulai kampanye tentang kelebihan pasangan calon yang akan bertarung, sampai perang tagar yang terus terjadi, lanjutnya.

Hal inilah yang membuat Franciano Permadi berpendapat kalau kampanye politik telah mengubah pesona twitter yang notabene diciptakan untuk media curhat menjadi ladang elektoral yang potensinya tak terbatas.

Dalam tulisannya tersebut, Franciano Permadi mencontohkan bagaimana twitter telah mampu meningkatkan elektabilitasnya secara instan dengan platform twitter.

"Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pasangan Jokowi-Basuki maju dengan tingkat elektoral minim dan menang. Lalu kemenangan Jokowi-JK yang secara kekuatan politik lebih inferior dibandingkan lawan politiknya dapat menang dalam kontestasi Pilpres 2014," ungkap Franciano Permadi.

Tidak hanya di Indonesia, Franciano Permadi juga menemukan cara serupa ketika Donald Trump dapat memenangkan Mission Impossible melawan Hilary Clinton dalam kontestasi pemilihan Presiden Amerika.

"Twitter menjadi medan perang visi-misi sampai penebaran isu-isu bahkan jauh sebelum kontestasi politik dimulai," lanjutnya kemudian.

Namun, dari segala cara-cara tersebut, ada yang membuat Franciano Permadi kecewa, yaitu twitter menjadi semakin politis, tak lagi komersil ataupun personal lagi.

Benarkah kini Twitter benar-benar semenakutkan itu? Masih adakah akun-akun yang membuat Twitter cerita lagi seperti dulu?

Sudah coba membuka linimassa Bank Indonesia (@bank_indonesia) beberapa bulan terakhir?

Iskandarjet melihat kalau pengelolaan konten dari akun Bank Indonesia cukup "gaul".

"Materi-materi yang sebelumnya hanya bisa dibahas dan dipahami oleh sesama ekonom atau praktisi ekonomi disebarkan lewat rangkaian kicauan dengan jadwal tertentu," tulisnya.

Tujuannya untuk mencoba menyebarkan edukasi seputar perbanksentralan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh pengikutnya.

Melalui akun Bank Indonesia tersebut, paling tidak ada 3 tagar utama yang digunakan untuk menyebarkan bahasan dari topik yang berbeda, yaitu (1) #BInfo, (2) #SerbaSerBI, dan (3) #EnsikopeBI.

Selain itu, masih ada beberapa akun yang non-pemerintah yang bisa dijadikan referensi untuk membuat linimassa kembali menghibur, semisal: @ClickUnbait, @InfoTwitwor, dan @PEMBIMBINGUTAMA.

***

Akrab dengan istilah click bait? Beberapa media, barangkali, memang sengaja menggunakan strategi demikian agar supaya menarik pembaca untuk meng-klik tautan yang disebarkan.

Namun, sejak 23 Oktober 2017, seperti cuitan pertamanya, @ClickUnbait memulai untuk bersama-sama mengajak pembaca berita di media sosial agar tidak terjebak judul-judul yang bombastis.

Mengutip dari wawancara admin @ClickUnbait dengan vice-id, kehadiran mereka di jagat Twitter memang berawal dari sebuah keresahan atas judul-judul headline berita yang menjebak.

"Umumnya mereka protes dan mengecam, tapi mereka berteriak sendiri-sendiri sehingga suaranya tenggelam. ClickUnbait mencoba mempersatukan, mewakili dan memperkuat agar suara warganet menjadi lebih lantang dan didengar oleh pengelola media daring," ungkap mimin @ClickUnbait.

Tidak hanya itu, untuk tetap berbagi informasi yang baik, ClickUnbait juga kerap kali memberi tanda pada artikel atau berita yang direkomendasikan kepada pengikutnya: #RekomendaKlik dan #JudulYangBaik.

Selain itu ada juga yang selalu ramai dan akan selalu mencari keriuhan di Twitter, yaitu akun @InfoTwitwor.

Kehadiran InfoTwitwor memang seperti anomali di media sosial, Twitter pada khususnya. Ketika kita ingin melihat "kedamaian" di media sosial, justru ada sebagian warganet yang senang keributan.

Sekali waktu akun InfoTwitwor sempat membuat polling kepada pengikutnya, konten seperti apa yang warganet harapkan dari akun tersebut? Hasilnya, lebih dari 50 persen memilih twitwor dan drama lucu yang dilakukan oleh sesama warganet lainnya --termasuk warganet yang nge-troll selebtwit sombong.

"Jadi kami (mimin InfoTwitwor) lebih memprioritaskan genre itu," kata mimin @InfoTwitwor, seperti dikutip dari wawancara dengan VoxpopID.

Sedangkan topik lainnya, seperti politik, ternyata kurang disukai oleh pengikut InfoTwitwor sehingga jarang konten-konten itu dibuat meski keributan karena itu tetap ada --dan sering.

Sedangkan untuk akun personal --meski anonim-- ada juga Bapak Dosen Pembimbing (@PEMBIMBINGUTAMA).

Jika tidak terbiasa melihat cuitannya mengalir di linimasa kita, mungkin akan terasa kesal. Sebab, bagaimana tidak, setiap cuit PakBing (sapaannya di Twitter) kerap kali menggunakan huruf kapital. Seperti ini contohnya:

Mungkin tampak biasa. Tetapi, dari cuitan PakBing kita seakan dibawa ke dunia di mana kehidupan seorang Dosen Pembimbing yang wujudnya kadang fana, tapi revisian skripsi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun