Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Teroris, Bom Surabaya, dan Tantangannya Buat Negara

18 Mei 2018   04:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   04:45 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Kompas.com/Garry Andrew Lotulung

"Pekerjaan Pak Dita sehari-hari memproduksi minyak jinten, minyak kemiri, dan minyak wijen di rumahnya. Waktu itu saya lihat yang agak laku minyak kemiri, untuk rambut. Menurut saya juga ia orang berkucupan. Punya mobil, punya rumah. Minyak kemiri sangat mahal, Rp 200 ribu per liter," terang Binawan.

Secara ringkas artinya, ekonomi, penampilan, juga pergaulan sudah bukan menjadi variabel-variabel untuk dijadikan tolak ukur menilai seseorang tersebut menganut ajaran radikal atau bukan.Berbeda dengan rangkaian-rangkaian terorisme medio awal 2000-an dan diawali dengan tragedi Bom Bali. Di mana para "pengantin"biasanya berasal dari golongan ekonomi rendah.

kompas.com/achmad faizal
kompas.com/achmad faizal
Berangkat dari situ juga masyarakat mulai resah dan mendesak untuk mempercepat pengesahan Revisi Undang-Undang Anti Terorisme.

Presiden Joko Widodo pun meminta DPR dan kementerian untuk menyelesaikan selambat-lambatnya pada bulan Juni. Ia mengatakan, revisi UU ini sudah diajukan pemerintah kepada DPR sejak Februari 2016 lalu.

"Artinya sudah dua tahun. Untuk segera diselesaikan secepat-cepatnya dalam masa sidang berikut, yaitu pada 18 Mei yang akan datang," kata Jokowi mengutip Kompas.com (15/05/2018). "Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu."

Pernyataan Jokowi mengundang reaksi para anggota dewan, antara lain Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang tidak setuju andai  Jokowi menerbutkan Perppu.

"Perppu itu menurut saya tak diperlukan. Karena pembahasan ini sudah mau final, bahkan pada masa lalu pun bisa disahkan. Tapi pemerintah yang menunda. Jangan kebolak-balik," kata Fadli.

Lalu sebenarnya siapa yang menunda, DPR atau pemerintah?

Kompasianer Harja Saputra membeberkan faktanya. Melalui artikelnya, ia menunjukkan dokumen permintaan penundaan rapat dari Pemerintah kepada DPR.

"Alasannya banyak: minta berkoordinasi di antara lembaga-lembaga terkait materi pembahasan, konsolidasi, dan alasan lain. Sila diteliti. Surat ini dijamin keasliannya," tulisnya.

Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Di surat itu juga tertulis dengan jelas tentang permintaan penundaan rapat. Dan itu bukan sekali dua kali. "Berapa kali pemerintah minta penundaan rapat? Dalam laporan rapat Pansus, dilaporkan bahwa kendala pembahasan adalah sebanyak 15 kali pemerintah meminta penundaan rapat," tulisnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun