Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

11 Buku Fiksi yang Bisa Diwariskan hingga Generasi Kesekian

3 Januari 2018   09:54 Diperbarui: 28 Oktober 2020   21:28 3860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay)

Nasib buku ternyata tidak cuma untuk dibaca, tapi juga (di)hilang(kan). Setidaknya pasti kamu pernah merasakannya walau hanya sekali, bukan? Bisa karena dipinjam atau lupa dikembalikan –dan  kamu enggan untuk menanyakan. 

Tapi memang begitulah buku: punya perjalanannya masing-masing setelah dilahirkan (oleh penulisnya, kemudian di tangan pembacanya). Atau, jika boleh meminjam istilahnya Pramoedya Ananta Toer, "setiap buku akan memiliki jalan senjarahnya sendiri."

Hal semcam itu pun kerap –atau, sering– terjadi di perpustakaan. Paling tidak di perpustakaan yang suka saya datangi: Teras Baca. 

Letaknya yang ada di bagian belakang sebuah komplek perumahan Bambu Kuning, Bojonggede, Kabupaten Bogor ini membuat hanya orang-orang yang tahu atau benar-benar niat datang ke sana untuk sekadar baca-baca. Tapi masih ada juga segelintir orang datang ke sana dan dimanfaatkan sebagai "tempat berkumpul" semata.

Begini, akan saya ceritakan barang sedikit segelintir orang-orang itu. Perpustakaan Teras Baca punya karakter pembaca yang unik. Sebab banyak di antara mereka datang untuk kumpul-kumpul. Berorganisasi. 

Hampir setiap tahun, meski hanya satu kali, Perpustakaan Teras Baca dijadikan sekretariat-tak-tetap Karang Taruna. Yha, ere kiwari memang masih ada Karang Taruna. 

Mereka-mereka ini pembaca tetap buku-buku di Perpustakaan Teras Baca. Membaca jadi sebuah keterpaksaan karena keadaan. Di sana tidak ada fasilitas maupun mainan lain selain buku. Rata-rata umur mereka yha sekitar belasan: antara SMA dan (baru jadi) mahasiswa. Bisa dibilang cerminan generasi Milenial.

Namun, saya jadi memikirkan ini: ternyata ada yang lebih menyedihkan dibanding ditinggal saat lagi sayang-sayangnya; dilabeli sebagai generasi milenial. Menyedihkan lho menjadi generasi Milenial. 

Sudah banyak stigma negatif yang kadung mereka dapat. Padahal, tidak semua pembuktian bisa langsung dirasakan, bukan? 

Ada proses, ada perbaikan yang terus menerus dilakukan. Tapi melihat dari apa yang generasi Milenial lakukan di Perpustakaan Teras Baca, saya jadi percaya satu hal: ternyata stigma negatif itu sedikit ada benarnya.

Dan kembali ke awal, jika dihitung-hitung, sejak Perpustakaan Teras Baca berdiri, sudah 10 buku (meng)hilang. Setengah di antaranya adalah novel. Selebihnya buku non-fiksi. Buku-buku yang sudah tersusun rapih di rak, kemudian diturunkan oleh seseorang, dibaca, kemudian –walau ini tidak sering– bisa hilang. 

Seperti buku milik sendiri saja: mereka tidak perlu izin meminjamnya atau tidak mengembalikannya. Namun keduanya toh tetap sama: buku tidak lagi ada di rak.

Sebagai pengunjung tetap yang-kadang-diminta-menjaga, tentu tidak banyak yang bisa saya lakukan. Lebih sering mendokumentasikannya dengan memotret buku-buku yang baru datang dan mencatat apa yang akan dipinjam untuk dibawa pulang. Nah, saat-saat seperti itulah momen di mana buku tidak hanya dinasibkan untuk dibaca, tapi juga (di)hilang(kan).

***

Buku mengisi jam-jam kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanya penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya, kata pertama yang menakjubkan adalah: "BACALAH". --Goenawan Mohamad dalam Pagi Dan Hal Yang Dipungut Kembali.

***

Clara Ng sangat krtitis lho tentang tangga pembaca di Indonesia. Baginya, tangga pembaca di Indonesia masih tertatih-tatih. Indikator yang digunakan adalah buku-buku yang semestinya diperuntukan untuk anak atau pra-remaja, justru diperdagangkan untuk orang dewasa. 

Dan pada akhirnya pun kita jadi tahu: orang dewasa jadi mengonsumsi bacaan anak-anak atau pra-remaja.

Sial yang kemudian didapati anak-anak tentu akses bacaannya. Ini adalah kemunduran. Pembodohan yang mesti dihentikan. Sudah selayaknya anak-anak mendapat bacaannya dan orang dewasa memilih bacaan yang semestinya.

Saya ingat betul Aan Manyur pernah mencuitkan ini: "someday twitter will end. you need to find your own offline social media back. i recommend you library."

Ada paradoks memang dalam cuitan itu. Di mana Generasi Milenial melulu digantungkan oleh aktifitas di dunia maya, tapi mesti kembali pada hal-hal konvensional seperti perpustakaan (dan buku-buku yang tersimpan). Namun, melihat bagaimana pengunjung dan pembaca di Perpustakaan Teras Baca ada rasa optimistis perlahan hadir. Meski sedikit.

Di antara beragam jenis buku di Perpustakaan Teras Baca, buku fiksi adalah buku yang dominan dibaca. Wabil khusus, novel. Ada juga yang suka buku non-fiksi seperti kumpulan esai, tapi tidak sedikit yang membaca buku how-to-be. Buku-buku anak, kebanyakan berbentuk majalah, masih suka diminati bila ada kunjungan dari PAUD atau Taman Kanak-kanak.

Ada sedikit rasa penasaran mengetahui sebab-musababnya. Namun, melihat ke-khusu-an mereka membaca, secapat itu pula penasaran saya hilang. Mau membaca itu sudah jauh lebih baik tinimbang meminjam buku sahaja!

Melihat kenyataan seperti itu, akhirnya saya coba menyusun tangga bacaan di Perpustakaan Teras Baca yang suka dan/atau sekiranya pantas untuk direkomendasikan untuk Generasi Milenial era kiwari. Siapa tahu juga dari tangga bacaan ini bisa diwariskan oleh Generasi Milenial hingga generasi ke-sekian, bukan?

Untuk meruncingkannya, tangga bacaan ini sekadar daftar bacaan fiksi. Alasannya pun sederhana: di Perpustakaan Teras Baca buku-buku fiksi yang dominan dibaca. Dan buku-buku ini pun terbit pada tahun di mana generasi milenial sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Semoga generasi milenial berkenan menerima daftar buku-buku ini.

***

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Eka Kurniawan, Novel)

Setelah novel "Cantik Itu Luka" menjadi banyak perbincangan pembaca dan kritikus sastra Indonesia, Eka Kurniawan "tampak" hilang dari permukaan dunia kepenulisan. Lalu, novel “Lelaki Harimau” terbit dua tahun setelahnya. Kemduian tidak satu pun buku yang dihasilkan. Barulah setelah 10 tahun lamanya dari "ledakan" itu, Eka Kurniawan hadir dengan novel barunya: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Masih dengan kekhasan Eka Kurniawan, di mana ada satu tokoh yang melawan atas banyak kehendak banyak hal dan/atau orang, novel "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" melatari masa-masa di mana kita pernah merasa hal serupa pada era Orde Baru. 

Ketakutan menyuarakan kebenaran, kejadian, pendapat atau sejenisnya dan sebagainya. "Kesialan" yang kemudian diterima si tokoh utama menjadi perjalanan yang mengasyikan dan menegangkan (juga sedikit "basah").

Ada dua hal yang kemudian membuat novel "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" ini layak dibaca oleh generasi Milenial: (1) mengingatkan kita bahwa masa di mana ketakutan bersuara itu tidaklah mengenakan dan (2) buku ini ditulis dengan pembabakan yang singkat. Poin kedualah yang menarik. 

Ketika kebutuhan membaca tidak berbading lurus dengan ketersediaan waktu (untuk membaca), novel "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" menawarkan itu. Kita bisa tetap mendapat keutuhan cerita meski membacanya sering tertunda-tunda.

Oia, satu lagi yang penting, novel ini dikategorikan untuk yang sudah berusia di atas 21(+) tahun. Baru kali ini saya dapati buku yang diberi label sespesifik ini.

Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom, Novel)

Ketika selesai membaca novel "Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi" kita akan merasakan kenyang dalam arti yang hakiki. Kenyang, karena novel ini ditulis dengan sebaik-baiknya sebagai karya sastra. Kenyang, karena cerita tentang kemahiran Loki Tua yang selalu memasak masakan yang enak mampu ditulis dengan tidak hanya detil, melainkan nyata.

Jadi amat pantas bila novel "Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi" mendapat ganjaran sebagai buku fiksi pilihan terbaik di ajang Kasula Sastra Indonesia 2016. Menjadi penting untuk dibaca oleh generasi Milenial karena..., kapan lagi kalian baca buku sebaik ini?

Tapi tentang tokoh Sungu Lembu dalam novel "Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi" ini akan mengajarkan satu hal: bagaimana ia bisa merawat dendam sebegitu dalam dan mengakhirinya dengan kebaikan. Itu yang mesti ditanamkan generasi Milenial mulai sekarang.

Si Parasit Lajang (Ayu Utami, Novel)

Ini hanya pandangan saya saja. Koreksi jika keliru. Satu-satunya hal yang tidak bisa dilakukan Indonesia agar supaya semaju negara Jepang, adalah menyikapi sebuah pernikahan. Seperti sebuah kemunafikan (maaf, jika terlalu kasar) yang tidak bisa dielakkan.

Pernikahan, bagi kebanyakan orang Indonesia, bukan lagi privilege. Setelah menikah kemudian orang-orang mulai menanyakan "kapan punya anak?" 

Jika sudah punya anak muncul pertanyaan lain, "kapan lagi nambah dedek bayinya?" Dan seterusnya, dan sebagainya pertanyaan serupa akan muncul. Pedahal, punya anak atau tidak, adalah urusan keluarga masing-masing. Memang orang-orang yang bertanya itu ingin ikut menafkahi juga?

Dan isi novel "Si Parasit Lajang" menceritakan tokoh A adalah perempuan yang melawan konstruksi sosial yang kadung mencemari lingkungannya. 

Ia memilih lebih baik untuk tidak menikah saja. Kalaupun nantinya menikah, (yha, pada akhirnya si A menikah) mesti ada concent di dalamnya. Seperti di Jepang.

Saya kira, persoalan-persoalan yang dimunculkan Ayu Utami dalam novel ini, kelak akan menjadi sesuatu yang di hadapkan generasi Milenial ini. Dan novel ini tentu memberi alternatif sikap kita melihat setiap persoalan.

Jalan Lain ke Tulehu (Zen RS, Novel)

Politik ingatan. Istilah itu baru kali ini saya dapati di novel "Jalan Lain ke Tulehu". Mumpung kini sedang ramai-ramainya generasi Milenial ikut terjun langsung pada gelanggang Politik di Indonesia, cobalah baca novel ini.

Dengan menggunakan batang-tubuh kisah Ita Martadinata Haryono, seseorang aktivis perempuan HAM Indonesia, yang tewas dibunuh secara misterius saat kerusuhan Mei '98. Ingatan dan kenangan, oleh Zen RS, dibuat seakan tanpa sekat. Silih berganti masuk dan keluar pada cerita.

Secara sadar atau tidak, sikap politik kita lahir dari ingatan-ingatan yang dikurasi oleh banyak faktor. Namun, yang terbesar adalah diri sendiri. Perjalanan panjang itu kadang kita ringkas dan potong seenaknya. Seakan peristiwa ini tidak sama sekali berkaitan dengan peristiwa itu. 

Pembabakan inilah yang kemudian Zen RS tulis dalam novelnya yang dibalut dengan keriangan olahraga sepakbola. Olahraga yang satu waktu bisa menyatukan dan sekaligus memecahbelah. Seperti politik, seperti sikap kita terhadap pilihan politik oranglain. Seperti dua sisi logam, novel ini merupakan sisi yang lain dari film "Beta Maluku: Cahaya dari Timur".

Pulang (Laila S. Chudori, Novel)

Sejarah tidak hanya bisa ditulis oleh pemenang. Siapapun bisa dan berhak untuk melakukannya. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu: kebenaran yang bisa diverikisi dan klarifikasi. Banyak riset yang dilakukan, pengelompokan data dan fakta untuk diricek. Itulah yang diceritakan Laila S. Chudori dalam novelnya yang fenomenal: Pulang.

Novel ini berkisah tentang empat eksil politik Indonesia 30 September 1965. Peristiwa itu, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya, menjadi yang monumental bagi sejarah panjang Indonesia –sampai sekarang.

Cerita-cerita tentang para eksil politik Indonesia itupun mulai bermunculan. Baik berupa laporan tentangnya, sampai karya-karya sastra. Novel “Pulang” karya Laila S. Chudori adalah satu di antaranya. Buku ini menjadi amat penting dibaca karena, memang banyak yang belum selesai dari cerita-cerita seputar ’65. Yang selesai dari itu semua, seperti yang kita tahu: pelan-pelan melupakannya.

Cerita Buat Para Kekasih (Agus Noor, Kumcer)

Mengisahkan banyak cerita cinta masyatakat urban keseluruhan, kumcer "Cerita Buat Para Kekasih" menawarkannya secara terang-terangan. Tentang perselingkuhan, short-time di sebuah apartemen dan tarik-ulur ingatan masa lalu yang menyakitkan. 

Agus Noor dengan kelihaiannya mencampuradukan antara puisi dan prosa membuat setiap cerita menjadi menarik. Sudah begitu bertabur kutipan-kutipan yang instagram-able yang generasi Milenial bisa gunakan.

Cerita-cerita dalam kumcer ini menjadikan generasi Milenial dekat dan akrab. Bahkan saking dekatnya, pasti bisa merasakan bahwa kisahnya yang dituliskan. Bisa akhirnya baper atau sebal sendiri. Tergantung layer kisah mana yang diceritakan.

Entah ada kaitannya atau tidak, saya kira, karena judulnya adalah "Cerita Buat Para Kekasih", maka bentuk buku ini dibuat seakan ada yang bercerita dan mendengarkan. Dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi foto hitam-putih, pembaca menjadi mudah membayangkan: bahwa cinta memang bisa begitu kelam.

Bakat Menggonggong (Dea Anugerah, Kumcer)

Butuh sedikit kesiapan lebih untuk membaca kumcer "Bakat Menggonggong". Setidaknya untuk hal-hal yang bisa tiba-tiba mengejutkanmu. Apalagi jika kamu pernah mendapat kiat-kiat menulis (cerpen atau apa saja), coba singkirkan terlebih dulu. Dalam buku "Bakat Menggonggong", Dea Anugerah adalah antithesis dari yang selama ini kamu tahu.

Banyak berlatar daerah pinggiran perkotaan besar, membuat cerita-cerita yang diangit Dea Anugerah ini menjadi suara-suara "riwil" memandang gemerlapnya perkotaan. Kelucuan yang amat satir, kesedihan yang tidak dibuat mendayu, sampai kebingungan karena terjebak dalam cerita bisa kamu dapatkan.

Buku ini menjadi 5 besar nominasi Kasula Sastra 2017. Walau pada akhirnya tidak menang, dunia kesusastraan Indonesia kini patut menanti karya-karyanya kelak. 

Apalagi ditambah gaya kepenulisannya yang mempuni, akan menambah kepuasan membaca tiap ceritanya. Bisa jadi, Dea Anugerah adalah sosok terpenting Generasi Milenial dalam hal kesusastraan era kiwari.

Sarapan Pagi Penuh Dusta (Puthut EA, Kumcer)

Patah hati, sedih dan murung. Tiga hal itu seakan lekat pada cerpen-cerpen Puthut EA. Tapi, yang membuatnya cerpen-cerpennya menarik adalah, sesuatu yang sudah amat biasa tentang kisah patah hati, sedih dan kemurungan, oleh Puthut EA diramu dengan narasi-narasi yang kuat dan dramatis (dramatis tidak sama dengan melo-drama-mendayau-dayu).

Patah hati, patah hati lagi, lagi-lagi patah hati dan akhirnya tidak peduli sendiri. Bahwa hidup terus berlanjut walau kesedihan datang secara runut. Lebih atau kurang, twist semacam itulah yang disajikan Puthut EA ini. Membaca tulisannya, kita akan serasa mendengar teman yang sedang curhat. Ia bisa menjelma menjadi tokoh manapun dalam setiap ceritanya.

Hal seperti itulah yang barangkali kini sudah jarang ditemukan dengan kemapanan teknologi sekarang ini. Jarang ada waktu untuk sekadar bertemu, untuk sakadar berbagi cerita sambil ngopi-ngopi. Buku ini seakan muncul di antara kesepian-kesepian yang kini banyak kita alami.

Melihat Api Bekerja (Aan Mansyur, Puisi)

Memadukan dongeng dengan puisi itu bukan perkara mudah, tapi Aan Mansyur melakukannya. Semacam ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Aan Mansyur ketika menulis puisi-puisi dalam buku ini. 

Sesuatu yang tidak bisa diimbuhi dengan kata-kata yang hiperbol, pesan yang tidak juga bisa ditegaskan dengan lugas. Maka, barangkali, Aan Mansyur membuat buku ini.

Menyelami pikiran "kacau" Aan Mansyur dalam puisinya, seperti memasuki kota tanpa arah dan petunjuk. Jika ingin ke tempat A, maka bisa lewat J kemudian putar balik di S. Atau mungkin malah tersesat. Tapi biarlah, lewat puisinya, Aan Mansyur menawarkan kebebasan yang baku, bahwa kebaradaan alternatif itu perlu.

Melihat Api Bekerja juga termasuk bentuk sikap feminisme Aan Mansyur yang terlihat. Bahwa bersedih adalah hak semua umat. Siapa saja boleh bersedih; laki-laki maupun perempuan. Dan kesedihan, dalam puisi-puisi Aan Mansyur bukanlah kekeliruan atau dosa besar. Namun, "kekacauan" yang sempat disebut di atas bisa terlihat dalam puisinya yang berjudul seperti judul bukunya:
...
Selebihnya, tanpa mereka tahu,
sepasang kekasih diam-diam
ingin mengubah kota ini jadi
abu. Aku mencintaimu dan kau
mencintaiku --meskipun tidak
setiap waktu. Kita menghabiskan
tabungan pernikahan untuk beli
bensin

kita akan berciuman sambil
melihat api bekerja.

Pendidikan Jasmani dan Kesunyian (Beni Satrio, Puisi)

Jika sastra membawa ke arah "pembebasan" dan "pencerahan", barangkali orang pertama yang mendapat itu adalah Beni Satrio. Setelah itu, ia duduk dan termenung untuk menulis pwiesie. Dikumpulkannya pwiesie-pwiesie itu, kemudian dibukukan. Hasilnya: sebuah buku "Pendidikan Jasmani dan Kesunyian".

Cara seorang Beni Satrio mengajak main-main sambil serius dari pwisie memang menarik. Guyon, satir dan kemalangan bisa tertuang dalam satu pwiesie secara bersamaan.

Ketika kita tahu apa yang dilakukan Joko Pinurbo agar supaya puisinya bisa dilik oleh pembaca sastra dengan "memilih jalan lain dari penyair kebanyakan dan memilih tema-tema yang unik", maka yang dilakukan Beni Satryo adalah nyungsep ke tanah paling dalam hingga menemukan sendiri gayanya. Ia masuk ke dalam, ke hal-hal yang lebih nyata dan ada. 

Pwiesie "Di Restoran" selalu berhasil membuat kita melihat diri. Untuk sebuah kebutuhan dasar saja, makan, kita tidak sulit terpenuhi. Bisa, tapi ada yang harus lebih mahal dari yang kita bayar: gengsi.

Kau bertanya banyak hal/saat kita mampir di restoran itu// ini apa? lada/ini? garam dan saus/itu apa? pisau dan garpu/itu?// kau menunjuk sesuatu yang mengalir/dari kedua mataku yang hambar/aku menunjuk struk-struk yang terselip/di bawah mangkuk acar// itu apa?/harga yang harus kita bayar.

Hap! (Andi Gunawan, Puisi)

Yang acap kali dikeluhkan dari pembaca puisi adalah selalu kesulitan mendapat maksud dan/atau pesan yang disajikan si penyair. 

Sulit menjelaskannya, bahkan Sapardi Djoko Damono sampai khusus membuat buku tentang itu. Tapi, cobalah baca "Hap!" sampai selesai. Barangkali setelah itu bukan hanya bisa mulai memahami puisi, bisa jadi kamu akan mencintai puisi.

"Hap!" yang ditulis Andi Gunawan ini bisa mengawali cikal-bakal di mana puisi mulai digandrungi netizen. Sewaktu twitter masih menggunakan 140 karakter, puisi-puisi Andi Gunawan deras membanjiri linimasa. Singkat dan dengan bahasa(-puisi) yang ketat.

Banyak menceritakan kerinduan, kenakalan masa muda dan penuh kekhawatiran akan percintaan. Namun, puisi-puisinya menjadi menarik, karena dilihat dari sudut pandang seperti orang yang tengah sembunyi: hati kecil kita. 

Kejujuran itulah yang kadang bias dalam dunia fiksi dan Andi Gunawan berhasil melakukannya. Puisi kesukaan saya tentu yang berjudul "Ekor Cicak": kau patahkan hatiku berkali-kali dan aku tak mengapa hatiku ekor cicak.

***

Bagaimana mungkin kita bisa merayakan satu momen, yang hanya ada satu kali dalam setahun, dengan baik jika itu dengan mudah terlewat? Semisal, Bulan Bahasa. Namun, biar bagaimanapun, kita tetap (atau, terpaksa?) merayakannya juga, bukan?

Banyak juga cara merawat perayaan semacam itu. Lihatlah apa yang dilakukan teman-teman dari Pustaka Bergerak. Mereka dengan sukarela membawa buku-buku hingga ke perbatasan Kalimatan-Malaysia untuk orang-orang yang membutuhkan bahan bacaan. 

Tentu masih banyak cara lainnya. Dan, barangkali, dengan saling membagikan kisah-kisah lewat buku kesukaan dan/atau favorit menjadi satu di antara banyak upaya.

Bahkan, menurut Zen RS, kalau kamu menulis resensi 50 buku dan hasilnya jelek semua, paling tidak kamu pernah membaca 50 buku. Dengan begitu kita akan melawan tentang apa yang dilaporkan UNESCO terhadap minat baca Indonesia yang rendah. Berminat? Yuk, tulis resensi buku-buku fiksi pilihanmu sekarang. Bagi dan ceritakan kepada yang lain. (hay)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun