Masih kencang, walaupun dua tahun lagi akan pensiun dari pekerjaannya menjadi guru desa. Ibu tak pernah naik kelas dalam mengajar, selalu mengajar siswa kelas 1 SD.Â
" Aku mengajar siswa kelas 1 SD itu anugerah terindah, pengabdian total  dalam hidupku, Tantri," pernah ibu bercerita dengan mata berbinar dan wajah memancarkan kebahagiaan.Â
"Mereka itu masih kertas putih, polos dan kita masih bisa menggambarinya dengan segala kebaikan hidup. Dan itu, panggilanku," nada suara ibu menerawang.Â
Ada cinta saat dia mengucapkannya. Diam-diam, Tantri mengagumi cerita-cerita ibunya dan menyimpannya dalam hati. Aku ingin seperti ibu..
"Jangan melamun, Tantriii..!" teriakankedua kali menyadarkan dirinya.
"Opss..Ga kok,Bu. Ga melamun kok," dirinya menjadi malu.
Secepat kilat ia merapikan sapu, serok dan tempat sampah, serta mengembalikan lagi pada tempatnya. Tantri melepaskan lelah di kursi teras. Â
Ibu menghampirinya lalu ikut duduk di kursi dekatnya.
"Sabar ya, sayang. Kalau pandemi sudah teratasi, pergilah mendaftarkan diri di kampus yang kamu inginkan. Jangan berhenti sampai tamat SMA," Ibu mengutarakan isi hatinya pada anak semata wayangnya .Â
Bukan sekali ini ibu menyarankan hal berkuliah, tapi Tantri tak ingin membahasnya lebih jauh. Selalu berhasil mengalihkan pembicaraan tentang itu.Â
"Belum ingin,Bu. Tantri masih senang mengajar di bimbel ,Bu, walaupun mengajar baca tulis siswa kelas 1 SD,supaya mereka lebih lancar lagi di sekolah," Tantri menolak halus.