Desya, gadis enam belas tahun itu, mengisahkan imajinasinya di atas selembar kertas. Ia penulis. Pemula saja menurutku, tetapi kekuatan kata-katanya menghipnotisku. Aku gurunya, meneroka mutiara pada dirinya. Kudekati dia.Â
"Cerita pendekmu sejak paragraf pertama sudah mengaduk-aduk emosi pembaca,Desya. Kamu tentu suka membaca novel atau cerpen,ya?" tanyaku, dan ia melirikku saja, tanpa senyum seperti biasanya. Desya hanya satu dari dua puluh murid kelas menulisku. Gadis itu sangat pendiam, tapi tidak untuk pembicaraan atas nama imajinya. Ini cerpen ketiga yang ia buat pada materi kelas menulisku.
 Dua cerpen sebelumnya berhasil menggedor seluruh perasaan siswa kelas menulis. Aku pikir dia tidak perlu lagi berada di kelas kreatif ini, bahkan untuk menjadi mentor sebaya pun. Aku juga berpikir, setidaknya tiga tahun lagi dia sekaliber Dewi Lestari, Oka Rusmini, atau penulis perempuan kondang lainnya di republik ini, jika ia menjaga dan terus menumbuhkan proses kreatifnya.
"Aku hanya ingin membagi perasaan dalam hidupku. Aku sering membayangkan seandainya seorang perempuan tidak meninggalkan seorang bayi mungil merah di panti asuhan, mungkin aku tidak pernah bisa menulis cerita pendek seperti sekarang. Aku hanya bisa mengkhayalkan rasanya memiliki keluarga, dicintai dan mencintai seorang ibu, seorang ayah, lewat tulisan, Bu Guru, "jawabannya menghentikan segenap pertanyaanku berikutnya. Hatiku bergetar. Kali ini Desya memberiku senyum. Entah karena apa.