Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Calon Presiden Independen untuk Pemilu 2019, Setujukah?

27 Mei 2014   16:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:04 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401113924222740429

Pendaftaran calon presiden beserta wakilnya untuk pemilihan presiden 2014 telah ditutup pada 20 Mei 2014 lalu. Ditetapkanlah dua pasangan capres-cawapres yang terdaftar, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subiyanto-Hatta Radjasa. Joko Widodo-Jusuf Kalla diusung oleh PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura, sementara Prabowo Subiyanto-Hatta Radjasa diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PPP, Golkar, PBB, dan PKS. Sementara itu, Aburizal Bakrie yang sebelumnya diprediksi akan turut meramaikan Pilpres 2014 sebagai capres atau cawapres ternyata gagal menjadi keduanya.

Pemilihan Presiden 2014 ini memang lebih terasa gregetnya daripada pemilihan presiden dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Panasnya suhu Pemilu 2014 diawali dengan publikasi berbagai survei elektabilitas bakal capres jauh-jauh hari sebelum Pemilihan Legislatif 2014. Semua survei berusaha menyajikan penemuan terkait bakal capres, termasuk capres potensial yang belum dapat kendaraan. Terkait hal ini, Fadjroel Rachman dkk pernah mengajukan judicial review (permohonan uji materi) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), yakni pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9, dan seluruh muatan pasal 13 ayat 1, yang menurutnya UU tersebut hanya menyediakan satu opsi untuk nyapres yaitu lewat partai politik. Tapi MK berpendapat, ketentuan pasal-pasal yang diuji materi dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi.

Sementara itu, pra pilpres 2014 ini, Yusril Ihza Mahendra juga mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Yusril mengusulkan pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak. Dengan demikian, harapannya, untuk menjadi capres, seorang kandidat tidak harus berasal dari partai atau gabungan partai dengan perolehan suara yang memenuhi ambang batas (presidential threshold). Permohonan Yusril dikabulkan. Sayangnya, MK menetapkan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019. Kesan politis atas putusan tersebut pun semakin memanaskan situasi politik menjelang pemilu 2014.

Pemilu 2014 pun diwarnai oleh berbagai rumor seputar bakal capres maupun cawapres, yang beredar bagaikan bola liar dan semakin liar karena pihak partai terkesan membiarkannya bergulir. Misalnya rumor bahwa Joko Widodo tidak benar-benar akan dicapreskan oleh PDI-P karena pemberian mandat kepada Joko Widodo oleh Megawati Soekarnoputri sebelum Pileg hanya dimaksudkan untuk mendulang suara PDI-P dalam Pileg 2014. Usai ditetapkannya hasil Pileg oleh KPU, gonjang-ganjing koalisi dan manuver partai politik menjadi drama tersendiri bagi rakyat.

Kini, kita dihadapkan pada ramainya perang opini tentang pasangan capres-cawapres dari kedua kubu di media sosial. Televisi, surat kabar, hingga media arus utama online pun seolah tak bisa mempertahankan independensinya. Obrolan politik tiba-tiba memenuhi ruang-ruang milik rakyat kecil. Mau tak mau, dua pasangan capres-cawapres sudha tersedia di depan mata, tanpa ada opsi lain semisal capres independen.

Katakanlah untuk Pemilu 2019 tidak akan diberlakukan presidential threshold sehingga kita akan diberi lebih banyak pilihan pasangan capres-cawapres. Namun demikian, cukupkah hal itu? Bagaimana jika figur yang kita inginkan menjadi capres atau cawapres tidak direstui oleh partai yang menaunginya? Setujukah Anda jika setiap warga negara mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri menjadi presiden tanpa melalui jalur partai? Akankah konsolidasi demokrasi tercipta hingga ke level institusionalisasi politik dengan pemilu serentak? Terkait hal tersebut, suarakan pendapat Anda dalam Pro Kontra di kanal Kotak Suara Kompasiana. (Nur)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun