Mohon tunggu...
Emanuel S Leuape
Emanuel S Leuape Mohon Tunggu... -

Alumni Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana-Kupang, NTT\r\n dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arkeologi Estetika Tubuh (Perempuan)

7 Juli 2015   15:12 Diperbarui: 7 Juli 2015   15:33 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa secara anatomi-metafisik dan teknik-politis. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil, dan meningkat kekuatannya, demikian kata Michel Foucault dalam karyanya Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Moderen. Tubuh memang entitas paling purba, tubuh ada bersama kehidupan manusia dimulai, tubuh menjadi media jiwa bagi pencapaian eksistensinya, tubuh menjadi wacana yang terus-menerus berada pada reproduksi makna dan respon atas keberadaannya, tubuh menyimpan sejumlah misteri pemahaman atas dirinya, dan karenanya tubuh memang menarik dalam penelusuran esensinya. Dalam kebudayaan partiarkhi atau martiarki, perempuan dan tubuhnya menempati semacam posisi khusus dalam teater kehidupan sosial. Perempuan dan tubuhnya terhitung paling banyak hadir dalam teater sosial yang mempertonton estetika (keindahan) daripada tubuh laki-laki. Perempuan, makhluk Tuhan paling seksi, sebagaimana dalam penggalan lirik lagu Mulan Jamela paling tidak mengafirmasi dan menegaskan keindahan tubuh perempuan.

Sebagai sesuatu yang dinilai indah, maka tubuh perempuan tak pernah lepas dalam teater kehidupan sosial. Tubuh perempuan dan teater sosial bertemu dan mereproduksi wacana keindahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan historia tubuh wanita dan nilai keindahannya dalam tiap peradaban manusia di belahan dunia manapun baik dalam budaya patriarkhi ataupun martiarkhi. Namun, pertanyaannya adalah apakah estetika tubuh perempuan hadir sebagai yang natural yang sudah indah pada dirinya sendiri dan merupakan persepsi bawaan lahir ataukah hanya sekedar konstruksi realitas dalam wujud pengetahuan yang terinternalisasi ke dalam benak para perempuan dan penikmat visual tubuh perempuan yang lambat-laun menjadi habitus (nilai yang dihayati) lantas diregenerasikan secara terus-menerus? 

ESTETIKA TUBUH

Estetika dapat dimaknai sebagai filosofi mengenai sifat dan persepsi tentang keindahan yang dialami si subyek terhadap karya seni baik itu obyek kesenian alami (natural object) ataupun dari karya cipta manusia (artificial object). Ketika mengapresiasi keindahan sebuah subyek maka selalu timbul rasa tertarik (simpati) yang diikuti kehendak untuk memiliki dan menikmati keindahan itu lebih dari sebuah tatapan visual semata. Pemenuhan rasa keindahan akan tubuh tentu akan melibatkan sentuhan lebih daripada sekedar sebuah tatapan mata. Ini dapat dibaca sebagai insting kehendak berkuasa/penaklukan dalam konsepsi Nietzsche. Dalam pandangan esensialis tentang tubuh, maka kita percaya bahwa tubuh diciptakan oleh Tuhan sebagai primus interpares. Sehingga tubuh dikategorikan ke dalam keindahan akan kesenian yang alami. Jika persoalan keindahan ditetapkan sebagai kehendak subyektif aktor, maka jenis tubuh laki-laki dan perempuan dinilai secara subyektif oleh para penikmatnya sebagai yang indah atau tidaknya. Konsekuensinya, keindahan tidak hanya berlangsung di antara laki-laki dan perempuan, tetapi di antara sesama jenis; seorang laki-laki tertarik pada keindahan tubuh laki-laki dan seorang perempuan tertarik pada keindahan tubuh sesama wanitanya tanpa batasan normatif tertentu.

Seorang ayah dapat tertarik pada keindahan tubuh putra atau putrinya, anak laki-laki dapat tertarik pada keindahan tubuh ibunya, anak perempuan tertarik pada keindahan saudara perempuannya, anak laki-laki tertarik pada keindahan tubuh saudara perempuannya. Ini bisa diperlawankan dengan keindahan sebagai satu konsesus sosial, maka jelas keindahan menjadi satu entitas normatif yang mengarahkan arah dan penerapan rasa indah pada jenis seks tubuh tertentu dan kriteria kualitas keindahannya. Ada konstruksi realitas secara sosial yang membatasi cita-rasa arah dan penerapan rasa keindahan akan tubuh. Anak laki-laki dilarang memiliki rasa indah akan tubuh ibunya atau saudarinya, ayah dilarang menikmati keindahan visual tubuh putrinya atau iparnya, tetapi wajar jikalau anak laki-laki menikmati keindahan visual teman/sahabat wanita.

Berkaitan dengan kedua sudut pandang di atas, maka muncul pertayaan Apakah keindahan itu murni naluriah subyek atau memang naluriah subyek yang terakomodir batasan normatif sebagai konsesus sosial? Perspektif pertama melihat keindahan adalah sesuatu yang datang dari dalam diri subyek tanpa terkondisikan oleh batasan normatif tertentu. Artinya, keindahan tubuh-tubuh tertentu tidak ada pada dirinya sendiri tetapi merupakan hasil persepsi subyek secara mandiri. Dalam perspektif Cartesian yang mendewakan ratio dalam semboyan “cogito ergo sum”, maka persepsi keindahan tubuh menjadi domain murni hasil pikiran subyek tanpa terdistorsi oleh entitas-entitas realitas eksternal. Seolah-olah pikiran menjadi satu kemampuan bawaan lahir subyek tanpa perlu proses belajar sosial. Dalam jejak historis Yunani kuno, ritual pemujaan dewa-dewa mitologi Yunani dirayakan dengan menikmati keindahan tubuh-tubuh melalui laku hubungan seksual sebagai puncak penikmatan atas tubuh-tubuh. Bahkan tubuh dengan busana dianggap sebagai patologi sosial karena tidak menghargai keindahan. Ini dilakukan jauh sebelum kehadiran masa kegelapan (The Dark Age) pada abad ke-19 yang hadir untuk merepresi tubuh-tubuh seturut pemaknaan dogmatis agama dan kaum viktorian (borjuis).

Mengutip Foucault dalam karya Seks dan Kekuasaan: “Pada abad ke-17, konon masih berlaku keterbukaan tertentu. Kegiatan seksual (tubuh) tidak ditutupi. Kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Ukuran tingkah laku vulagar, jorok, tidak santun sangat longgar, jika dibandingkan dengan abad ke-19. Kita bisa menemukan berbagai kial yang menjurus, kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terangan, aurat tubuh yang dipertontonkan, anak-anak bugil yang lalu-lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu tenggelam dalam keasyikan…namum keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul senja, sampai tiba malam-malam monoton kaum borjuasi viktorian…kekhasan masyarakat moderen bukanlah bahwa bahwa masyarakat itu memaksa seks untuk berada di kegelapan, melainkan bahwa masyarakat itu terpaksa selalu membicarakannya, dengan mengunggulkannya sebagai sang rahasia.” Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa ada satu transformasi pemaknaan terhadap konsep keindahan tubuh yang ditandai oleh adanya perubahan dari satu bentuk keterbukaan tubuh dalam teater sosial sebelumnya kepada trisabda konsep keindahan atas tubuh: pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman. Keindahan tubuh tidak dapat lagi maknai sebagai ketelanjangan tubuh tanpa sehelai benang pun, apalagi ritual penikmatan atas tubuh-tubuh tersebut tanpa batasan normatif. Dan pada akhirnya, di era kekinian wacana ketelanjangan tubuh sebagai konsep keindahan tubuh kembali muncul, diperjuangkan, dan diperbiasakan dalam atmosfer liberalisme sang aktor. Konsep keindahan tubuh yang bereksistensi dalam ratio Cartesian rupanya tidak pas dalam membaca gerak perubahan dari masa ke masa, karena ratio yang diagung-agungkan oleh kaum Cartesian mampu mereproduksi pengetahuan murni dalam kemandirian ratio ternyata difalsifikasi oleh adanya pengetahuan yang disuntikan dari luar.

Jika memang benar ratio akan keindahan tubuh sebagai naluriah yang terbawa dari lahir secara sama di antara manusia (dan juga sama sebagai citra Penciptanya), maka tentu konsep keindahan tubuh tidaklah mengalami perubahan. Yang terjadi adalah terjadi represi dari aktor sebagai subyek yang mewacanakan pengetahuan kepada aktor sebagai  obyek yang dimaksud menerima wacana tersebut. Ini tentunya mengindikasikan adanya intensi subyek dalam konstruksi makna terhadap tubuh. Kenyataannya, perubahan tersebut memang merupakan hasil konstruksi pengetahuan manusia secara internal, tetapi hal yang perlu digarisbawahi adalah pengetahuan manusia tersebut tidak murni bio-produksi dalam ratio, melainkan pengetahuan itu diresapi oleh realitas eksternal, yaitu wacana pengetahuan yang datang dari luar, diterima, dan menghasilkan daya kuasa dalam diri subyek sehingga mempengaruhi cara pandang, sikap, dan wujud tindakan yang sesuai dengan resapan pengetahuan yang datang dari luar tersebut. Hingga pada titik ini kita bisa memahami bahwa terdapat serangkaian persepsi pengetahuan atas tubuh dan keindahannya.

Lantas muncul pernyataan lanjutan, jika ratio tidak benar-benar murni, maka naluriah keindahan atas tubuh merupakan kehendak yang menjadi entitas bawaan lahir aktor. Kembali kepada konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa. Tiap manusia memiliki kehendak untuk mengatasi kehidupannya dari yang satu bentuk (laku) hidup ke bentuk hidup yang idealkan. Bahkan Schopenhauer menyakini kehendak metafisisnya sebagai yang terus hidup sepanjang hayat manusia dan kehendak itu berhenti ketika manusia mati. Baik Nietzsche atau Schopenhauer sama menyakini kehendak manusialah yang menjadi ciri khas manusia dibedakan dari makhluk hidup lain dan menjadi dasar utama manusia mencapai revolusi perkembangan kualitas kehidupan yang lebih cepat dan baik ketimbang makhluk hidup lainnya. Schopenhauer melihat ratio yang yang diprioritaskan oleh Hegel hanya merupakan pelayan kehendak. Kedua filsuf ini hanya dibedakan pada alasan bagaimana kehendak manusia bekerja, tetapi intinya keduanya memprioritaskan kehendak. Benar bahwa kehendak itu naluriah, tetapi kehendak itu tidak bisa menjadi aspek tunggal dalam mendorong sikap dan tindakan manusia tanpa melalui pikiran yang berisi pengetahuan.

Jika kita percaya bahwa secara naluriah ketertarikan subyek akan keindahan tubuh murni kehendak, maka tidak mungkin ada perbedaan sikap dan tindakan manusia dalam merespon tubuh sebagai entitas yang estetis. Sebaliknya, ada distingsi perspektif dalam mewacanakan tubuh dan keindahan disebabkan karena adanya pengetahuan yang berbeda, antara yang mewacanakan pengetahuan dan yang menjadi obyek hegemoni wacana pengetahuan tersebut, antara yang merepresi melalui wacana pengetahuan dan yang direpresi oleh wacana pengetahuan tersebut. Padahal kedua sama sebagai subyek manusia yang memiliki kehendak. Dengan demikian, perspektif keindahan atas tubuh tidak murni naluriah, melainkan hasil percampuran antara kehendak naluriah (insting) dan ratio pengetahuan subyek yang direpresi wacana dari luar dirinya. Lebih tepatnya, keindahan dihasilkan oleh proses mental dan fisiologis individu. Akhirnya, tubuh dan keindahan merupakan perangkat wacana yang sama-sama berlandaskan internalisasi pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun