Mereka semakin masuk ke dalam lumpur. Kaki mereka berusaha mencari pijakan yang keras. Namun sepanjang kaki mereka mencari-cari tempat yang keras, yang mereka rasakan hanya lumpur lembek.
Sementara itu, jeritan minta tolong muncul dari penjuru Petobo. Namun tidak ada yang bisa menolong. Semua orang berusaha mempertahan diri agar tidak tenggelam makin dalam di lumpur.
Pepohonan tumbang membantu kaki mereka beristirahat sejenak, kaki mereka berpijak pada ranting atau dahan. Dalam gelapnya malam, mereka berusaha mencari tanah keras untuk bisa keluar dari neraka lumpur itu.
“Malam itu kami masih mendengar suara minta tolong dari kejauhan, namun suaranya makin berkurang dan lemah,” lisah Desi.
Ia masih ingat pada malam itu ia menyaksikan beberapa rumah terbakar. Mungkin ada ibu-ibu yang tengah masak dan tak sempat mematikan kompor gas pada saat bumi berguncang keras. Api lalu melalap dapur kayu atau bahan lain yang mudah terbakar.
“Kami terus melangkah mencari tanah keras yang bisa menjadi pijakan, Kami menemukan kayu panjang. Kayu inilah yang kami gunakan untuk menduga kedalaman lumpur, jika terlalu dalam kami tidak akan melangkah. Jika menemukan yang keras seperti atap rumah atau dinding, kami lanjutkan perjalanan,” tutur Desi.
Mereka berenam bergandengan. Yang paling depan adalah Nani, ibu mereka, lalu disusul Irma, Anggun, Aulia (14), dan Desi. Si bungsu Riskiyah mereka gendong bergantian.
Pingsan
Desi sempat pingsan. Sepulang bekerja pada sore itu ia belum sempat makan. Adik-adik dan ibunya menepuk-nepuk tubuhnya agar siuman. Ia berulang kali pingsan.
“Kami berjalan dalam lumpur setinggi dada orang desawa, sangat berat dan melelahkan. Kami bisa saja tenggelam jika salah meletakkan kaki,” cerita Desi.
Ibu mereka selalu memberi semangat, mereka harus berzikir dan berkonsentrasi pada setiap langkah.
“Kami mendengar suara minta tolong dari kejauhan, waktu itu sudah larut malam. Namun dari arah suara tiba-tiba muncul api besar, lalu tidak terdengar lagi suaranya,” kenang Desi.