Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mau Apa Kita Setelah 20 Tahun Reformasi?

23 Mei 2018   09:19 Diperbarui: 23 Mei 2018   09:18 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998.

Majalah D&R, majalah tempat saya bekerja sebagai wartawan dari awal sampai tutupnya (1996-2001), bahkan sudah memprediksi masa gejolak ini sejak awal didirikannya.

Kami bahkan dalam candaan sering menyebut majalah kami majalah martir. Majalah berita mingguan ini dipimpin wartawan senior majalah Tempo, Bambang Bujono dan beberapa redakturnya.

Pilihan kami: sikap keras mengkritik banyak hal suram di era Orde Baru, mulai dari Tragedi 1965 dan apa yang selama ini ditutupi di balik peristiwa itu, juga nasib para mantan tahanan politik dan narapidana politik yang tak pernah direhabilitasi, krisis likuiditas Bank Indonesia, orang-orang hilang, kasus-kasus hukum yang dipetieskan, dan banyak lagi.

Kami juga hampir diberedel oleh pemerintah Orde Baru karena berani-beraninya menurunkan laporan utama mengkritik terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden ke-7 kalinya pada Pemilu 1997. Pemimpin redaksi kami bolak-balik dipanggil polisi karena cover kartu yang kontroversial pada edisi Maret 1998 itu.

Gelombang demonstrasi mahasiswa mulai merebak di mana-mana seiring terpilihnya kembali Soeharto. Dimulai sejak satu-dua bulan lebih demo mahasiswa yang masif. Puncaknya: gugur empat mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, yang mendorong kemarahan rakyat dan amuk massa di seluruh Jakarta.

Sore itu saya tepat ada di kolong jalan layang Trisakti, dan ketika tembak-menembak terjadi, tak ada yang bisa saya dan sekitar delapan teman wartawan lakukan, selain berdoa. Semoga peluru tidak nyasar di tubuh.

Masih ingat, ketika berhenti suara itu, kami lari tunggang-langgang mencari tempat aman. Hampir semua kami peliput tidak bisa tidak menggunakan emosi saat berada di tempat kejadian.

Jarak saya dan teman-teman yang begitu dekat dengan aparat keamanan membuat kami tak habis heran bagaimana bisa aparat polisi pasukan anti huru-hara (PHH) memukuli dan kemudian menembaki mahasiswa.

Saya masih ingat, saya menangis di lapangan karena dua sebab: tembakan gas air mata dan kesedihan-kebingungan yang luar biasa.

Sampai hari ini, siapa yang menembak para mendiang mahasiswa muda belia, yakni Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan dan Heri Hertanto, tak kunjung terungkap.

Foto-foto abadi peristiwa Mei 1998 yang dibuat wartawan foto Rully Kesuma (majalah D&R) dan almarhum Julian Sihombing (harian Kompas), seperti yang saya sajikan dalam tulisan ini, semoga bisa membantu menggambarkan seperti apa kerasnya kerusuhan yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun