Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

6 Desember 2017   06:15 Diperbarui: 6 Desember 2017   15:19 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Parmalim saat melangsungkan ritual Sipaha Lima.

Warga penghayat kepercayaan kesulitan saat hendak melakukan perkawinan, mengurus akta kelahiran, mengakses pekerjaan dan tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial.

Ketika melangsungkan perkawinan pada tahun 2002, Dewi tidak dapat mencatatkannya di catatan sipil dengan alasan kepercayaan Sunda Wiwitan belum diakui sebagai agama oleh negara dan tidak masuk dalam peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan dicatatkan.

Sementara penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden RI Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyatakan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Akhirnya perkawinan Dewi hanya dicatatkan dalam lembaga adat atau komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.

"Memang kami tidak disediakan catatan pernikahan untuk kami. Negara tidak mau mencatat di Catatan Sipil. Negara tidak mau mencatat peristiwa kependudukan kami karena dianggap belum ada perundang-undangan dan dianggap bukan sebagai agama yang diakui. Itu persoalannya. Alasannya kan harus menikah sesuai tata cara agama," ujar Dewi saat dihubungi.

"Bukti pencatatan pernikahan hanya ada di internal komunitas. Kami membuat berita acara disaksikan oleh aparatur desa atau kelurahan setempat kemudian ada sesepuh adat," tambah dia.

Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan
Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan
Dengan tidak dicatatkannya perkawinan Dewi di Catatan Sipil, berdampak pada status hukum anaknya.

Dalam akta kelahiran, kata Dewi, anaknya dianggap tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya karena tidak dicatatkan.

Artinya, anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anaknya dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

"Akta kelahiran anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Memang Ada akta kelahiran, tapi dianggap sebagai anak di luar nikah kemudian status hukum dengan ayahnya dihilangkan. Artinya negara dengan sengaja memisahkan silsilah atau asal-usul antara anak dengan ayah secara sistemik dan itu berdampak pada genosida kultural," kata Dewi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun