Mohon tunggu...
Abdul Salam Atjo
Abdul Salam Atjo Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuluh Perikanan

Karyaku untuk Pelaku Utama Perikanan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Inovasi Phronima 40 Hari Panen Sitto

11 Maret 2019   18:04 Diperbarui: 11 Maret 2019   18:50 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Udang Windu (sitto) diproduksi dari tambak tradisional di Pinrang

Sebagian besar pembudidaya tambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi selatan masih menerapkan teknologi konvensional. Sejak ditemukan makanan alami Phronima Sp beberapa tahun silam, pembudidaya makin tertarik budidayakan udang windu  alias udang sitto (bugis) dibanding komoditi sejenisnya. 

Ketertarikan pembudidaya terhadap komoditi udang windu selain harga jual yang terus meningkat juga ukuran (size) kecil diminati pasar Jepang. Panen udang windu size kecil membawa pengaruh positif dibanding pola budidaya sebelumnya.

Udang windu (Penaeus monodon) sejak dahulu hingga kini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor perikanan kabupaten Pinrang. Produksi udang windu yang dihasilkan oleh pembudidaya di daerah ini  sangat diminati oleh pasar manca negara khususnya di  Jepang. Tak berlebihan apabila kabupaten Pinrang berobsesi untuk mengembalikan kejayaan udang windu seperti di era tahun 1980-an.

Sekedar bernostalgia, udang windu pernah mencapai puncak kejayaannya dimana saat itu terjadi booming produksi di enam kecamatan wilayah pesisir di Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir.

Melimpahnya produksi udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis  dipaksakan untuk dikonversi menjadi lahan budidaya udang. Tidak lama kemudian bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen.

Budidaya  tambak yang tidak memenuhi  syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri.

Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan  Vibrio Harvey berdampak terhadap sekitar 39.022 ha areal tambak di Sulawesi selatan tidak lagi berproduksi (iddle) pada periode 1988 sampai dengan 2007.

Gagal panen di Sulawesi selatan diprediksi menimbulkan kegugian bagi pembudidaya sekitar 33,4 juta USD per tahun. Kerugian akibat serangan penyakit udang di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta USD atau lebih dari 3 triliun rupiah per tahun (Wahyono, 1999 diacu dalam Rukyani, 2000).

Besar dugaan yang menjadi pemicu adanya serangan penyakit adanya degradasi lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan lahan yang tidak memenuhi standar. Selain itu juga karena penggunaan sarana  pemberantas hama dan penyakit yang tidak terkendalikan seperti antibiotik, pestisida, bahan dan zat kimia lainnya.

Demikian juga pemberian pakan, penggunaan pupuk maupun pengolahan tanah dasar tambak yang tidak tepat telah menyebabkan peningkatan cemaran organik. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat dari produk biomassa.

Sisanya 88 -- 90  persen terbuang ke lingkungan (Nurdjana, 2005). Pakan yang sebagian besar bahan organik  tersebut  (terutama organik-C dan organik --N) mengalir dalam siklus aliran nutrient di dalam air (Boyd dan Clay, 1989).

Pada era tersebut permintaan volume ekspor udang windu  terus meningkat. Demikian juga harga jual relativ tinggi sehingga mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan.

Penggunaan sarana  produksi yang tidak bijaksana itulah yang menyebabkan berkembangnya organisme patogen yang resisten terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan matinya jasad renik yang berperan penting dalam siklus hara dan rantai makananan (food chain) di dalam tambak  seperti bakteri  Nitrosomonas dan Nitrobacter yang sangat berperan dalam proses nitrifikasi (Nurdjana, 2005).

Ketidakseimbangan lingkungan internal dan eksternal tersebut menyebabkan daya dukung tambak sangat rendah. Akibatnya tambak menjadi kehilangan potensi  produktivitas (tambak marjinal). Untuk menormalkan tambak marjinal maka kuncinya reklamasi tambak. Reklamasi secara epektif, perbaikan lingkungan, dan penataan system budidaya udang windu secara holistik berhasil menormalisasi tambak marjinal (Fattah et al., 2009) .

Manajemen budidaya yang buruk berpotensi memicu eksplosifnya kembali serangan patogen terutama WSSV dan V.harvey yang saat ini dalam proses pemulihan atau membuka peluang infeksi patogen baru yakni Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancretic Nectrotic Disease (AHPND) yang dipicu oleh V. parahaemolyticus.

Saat ini undustri udang nasional sedang bersiaga hadapi ancaman baru yang berasal dari EMS atau AHPND setelah industri udang global dan negara tetangga seperti China (2009), Vietnam (2010), Thailand (2011) dan Malaysia (2012) mengalami kegagalan produksi (clopse). Hal tersebut menyebabkan kelangkaan stok udang dunia diperkirakan mencapai 300 ton per tahun.           

Sejak tahun 2005 ditemukan populasi Phronima Suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008).

Pada awal ditemukannya organisme tersebut, masyarakat lokal menyebutnya sebagai were. Were berasal dari kosa kata bahasa Bugis yang bermakna anugerah, berkah atau rahmat. Phronima Suppa menjadi anugerah, berkah dan rahmat bagi pembudidaya pada saat kondisi pertambakan udang nasioanl mengalami keterpurukan karena degradasi mutu lingkungan, infeksi patogen dan buruknya manajemen budidaya.

Keberadaan Phronima Suppa menjadi indikator bangkitnya udang windu pada kawasan yang sedang terserang virus WSSV dan V.harvey. Kawasan tambak yang ditemukan Phronima sp serta kawasan tambak yang sedang terjangkit WSSV berhasil memproduksi udang windu dengan sintasan sekitar 70 persen.

Sebaliknya, tambak udang windu tanpa Phronima sp hanya mampu memproduksi udang windu  dengan sintasan 10 persen (Fattah dan Saenong, 2008). Phronima Suppa kaya nutrien dan berperan penting dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.

Berkembangnya pakan alami Phronima Suppa menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton.

Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha).

Berdasarkan data di atas, produksi udang windu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana produksi tahun 2013 menempati produksi terbesar, yaitu 2.973,20 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 237.856.000, meningkat pesat jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yang memproduksi udang windu sebesar 2.269,13 ton dengan nilai produksi Rp. 79.419.550.

Peningkatan produksi ini mempengaruhi peningkatan kesejahteraan pembudidaya udang windu. Namun, dari segi persentase peningkatan produksi dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan.

Hal ini disebabkan karena metode budidaya yang diterapkan oleh pembudidaya didominasi budidaya tradisional dengan kepadatan 10.000 -- 20.000 ekor perhektar. Dimana rata-rata produksi perhektar dengan kepadatan 1 - 2 ekor/m2 yaitu 200 -- 250 kg.

Belum maksimalnya peningkatan produksi udang windu selain karena pembudidaya tidak memaksakan lahan juga karena terbatasnya benur udang windu berkualitas. Produksi benur pada hatchery di kabupaten.

Pinrang belum mencukupi kebutuhan pembudidaya, dimana jumlah hatchery di Pinrang sebanyak 9 buah dengan kapasitas produksi pertahun yaitu 220 juta benur. Sedangkan kebutuhan benur untuk penebaran rata-rata 20.000 perhektar untuk 15.000 hektar tambak yaitu 300 juta benur. Berarti dibutuhkan 80 juta benur harus diperoleh dari luar Kabupaten  Pinrang.

Konsep Eco Shrimp Farming  di masyarakat pembudidaya kian gencar dilaksanakan seiring kian meningkatnya kesadaran untuk menjaga lingkungan dalam melakukan usaha budidaya perikanan. Prinsip ini pula yang kini diterapkan oleh para petambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebutnya budidaya udang windu ramah lingkungan. Yaitu budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami phronima (Phronima suppa).

Petambak udang windu di Pinrang saat ini telah bangkit. Bertambak cara konvensional di era modern ternyata membawa keberuntungan. Udang windu yang diproduksi dari pakan alami phronima menjadi incaran konsumen di pasar global, karena udangnya padat, sehat, alami dan yang paling penting ramah lingkungan.

Kesuksesan pembudidaya udang windu menggunakan makanan alami phronima di kecamatan Suppa telah didiseminasikan ke kelompok pembudidaya udang yang ada di kecamatan Lanrisang. Ada dua sistem budidaya udang yang dilakukan oleh petambak di Lanrisang yaitu sistem polikultur dengan bandeng dan sistem monokultur udang windu.

Pakan alami phronima menjadi potensi lokal yang mampu menggenjot produksi udang windu. Untuk mengkultur phronima di tambak perlu keterampilan khusus. Sebab jika salah dalam menumbuhkannya  akan menjadi kompetitor bagi udang yang dipelihara.

Karena Phronima ini merupakan semacam udang renik yang butuh pakan alami dan oksigen dalam pertumbuhannya. Tapi, jika tepat dalam penanganannya, maka cukup 40 hari budidaya sudah panen udang windu.

Tidak semua lahan tambak gampamg ditumbuhi Phronima sp. Hewan kecil ini merupakan keluarga udang-udangan (crustaceae) yang masuk dalam genus Phronima sp.,menyukai tekstur tanah dasar tambak liat berpasir.

Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28--25C , salinitas 28--40 ppt namun idealnya 32 ppt, oksigen terlarut 0,3--4,9 ppm, ammonia 0,080--1,600 ppm dan Nitrit 0,056--1,329 ppm.

Inovasi Lapangan

Bertambak udang windu sistem tradisional dengan pakan alami Phronima   paling tidak petambak  memiliki 2-3 petakan tambak. Jumlah petakan tambak tersebut satu petakan seluas 0,25-0,35 ha digunakan sebagai petak pentongkolan benur. Sedangkan petakan lainnya (luasnya 0,50-1,00 ha) untuk  perbanyakan populasi phronima dan pembesaran udang.

Jika dilakukan dalam satu hamparan kelompok maka cukup satu atau dua petak tambak ukuran 0,5 hektare dijadikan bank phronima. Petakan tambak inilah yang digunakan untuk menampung dan memperbanyak populasi phronima sebelum didistribusikan ke petak-petak tambak milik anggota kelompok.

Keuntungan bank phronima dapat membantu anggota kelompok yang hanya memiliki satu petakan tambak. Kebutuhan benur tokolan atau gelondongan dapat diperoleh dari pengusaha penggelondong.          

Guna mengembangbiakkan phronima di tambak perlu dilakukan persiapan media yaitu mulai pengeringan lahan dan pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian tambak diberi kapur bakar 500-1.000 kg/ha atau  tergantung tingkat keasaman (pH) tanah dasar tambak. Beri pupuk urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, ZA 50 kg/ha dan dedak 300 kg/ha serta pupuk cair organik sebanyak  5 liter/ha. Dedak tersebut lebih dahulu dipermentasi 3-4 hari menggunakan ragi roti dan molase. Kemudian tambak diisi air sampai ketinggian 30 cm di atas pelataran tambak. Jika plankton sudah tumbuh maka tebar induk atau bibit phronima sebanyak 3 liter yang diperoleh dari stok Phronima yang ada di petakan tambak lain atau bank phronima. Phronima yang dikultur selama 20 hari populasinya diperkirakan cukup untuk dimakan oleh  20.000 ekor udang maka tokolan udang umur 20 hari dapat dipindah ke petakan yang telah dipadati populasi  phronima.

Tokolan udang yang telah dipindah, setelah dipelihara sekitar 40 hari sudah bisa panen sebanyak 200-300 kg/ha dengan ukuran size 60-70 ekor/kg. Namun petambak belum puas dengan harga Rp. 75.000/kg dari ukuran size udang tersebut sehingga udang dipindah lagi ke petakan lain yang telah tersedia pakan alami phronima.

Dalam tempo satu bonang (satu periode pasang surut) atau sekitar 10 hari maka ukuran size udang sudah berubah menjadi 35-40 ekor/kg Cara seperti ini berulang dilakukan oleh petambak sampai 3-4 siklus panen dalam setahun..

Tambak Percontohan (Demplot)

Untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilan  pembudidaya udang windu di kecamatan Lanrisang kabupaten Pinrang, maka penyuluh perikanan mengajukan proposal tambak percontohan (demplot) budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa  kepada Dinas  Perikanan Pinrang,  

Kegiatan tambak percontohan budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima tahun 2018 di kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Cempae desa Waetuoe kecamatan Lanrisang, Pinrang. Percontohan budidaya udang windu aplikasi Phronima sesuai dengan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) . Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan bimbingan secara langsung dalam peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya tambak udang windu. Pembudidaya yang menjadi lokasi dempond ditetapkan bedasarkan kesediaannya untuk menerapkan budidaya udang windu aplikasi Phronima sp berbasis Eco Shrimp Farming. Sehingga dalam penerapannya tidak menggunakan sarana produksi obat-obatan, pupuk sintetik dan pakan buatan pabrik. Karena itu udang windu yang diproduksi dari kelompok Cempae dapat dikategorikan produk pangan ramah lingkungan dan aman dikonsumsi (food safety)

Indikator yang dipergunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan dari disiminasi teknologi ini antara lain meliputi: (1) periode budidaya, (2) sintasan, (3) produksi tambak, (4) analisis kelayakan ekonomi berdasarkan  pendapatan dan R/C rasio. 

Periode Budidaya

Periode kegiatan budidaya udang windu tambak demplot aplikasi Phronima Suppa  lebih singkat dibandingkan dengan kegiatan budidaya sebelumnya tanpa aplikasi Phronima Suppa. Dari tambak demplot mampu memproduksi udang windu 325  kg/ha/siklus dengan ukuran size rata-rata 50 ekor /kg  dengan periode masa budidaya sekitar 40 hari. Sistem budidaya yang diterapkan sebelumnya adalah polikultur udang windu dengan ikan bandeng. Karena belum menumbuhkan phronima sebagai makanan alami udang windu sehingga hanya mampu memproduksi udang windu sekitar 52 kg/ha dengan ukuran size rata-rata 30 ekor/kg dan produksi ikan bandeng 300 kg/ha. Sedangkan lama proses budidaya lebih lama dibanding kegiatan demplot yakni  selama 112 hari. Sebelum menggunakan phronima pembudidaya tambak memerlukan periode produksi rata-rata lebih lama dibandingkan setelah aplikasi phronima suppa. Dengan periode budidaya singkat tersebut memungkinkan pembudidaya melakukan aktivitas budidaya udang windu 3-4 kali siklus per tahun. Padahal sebelumnya kegiatan budidaya udang windu bersama bandeng hanya dapat dilakukan dua siklus produksi per tahun.

Sintasan

Pelaksaan kegiatan percontohan budidaya udang windu aplikasi makanan alami phronima sp bersamaan dengan datangnya musim hujan Oktober 2018. Kondisi cuaca yang tidak normal ditandai curah hujan tinggi diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup (sintasan) dari jumlah benur yang ditebar. Kondisi cuaca yang selalu berubah setiap saat berimplikasi pada pluktuatifnya parameter kualitas air tambak. Tambak demplot yang ditebar benur gelondongan 30.000 ekor/ha menghasilkan sintasan sekitar 54.16% lebih tinggi dibanding dengan siklus sebelumnya tanpa aplikasi phronima yang hanya mencapai sintasan 15.6% dari jumlah tebar 10.000 ekor benur gelondongan. Hal ini memperkuat pembuktian bahwa phronima suppa potensial menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan udang windu, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki kualitas lingkungan budidaya (Fattah et al., 2014).

Produksi

Tambak demplot pengembngan phronima suppa dalam budidaya udang di Pokdakan Cempae kecamatan Lanrisang, Pinrang berhasil memproduksi komoditas udang windu  sebanyak 325 kg/ha/siklus dengan ukuran size rata-rata 50 ekor/kg. Sebelumnya lokasi yang sama hanya dapat memproduksi udang windu sebanyak 52 kg ukuran size rata-rata 30 ekor/kg.

Tingginya produksi tambak yang menggunakan pakan alami phronima dibanding pada siklus sebelumnya tanpa phronima diidikasikan bahwa phronima suppa dalam menyediakan nutrien, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki lingkungan budidaya sesuai dengan kebutuhan udang windu sangat berperan dalam peningkatan produksi.

Pengembangan budidaya sistem konvensional dan upaya penyediaan phronima suppa secara berkesinambungan dapat meningkatkan produksi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan siklus sebelumnya yang hanya memproduksi udang windu sebanyak 52 kg/ha.

Secara alami puncak populasi phronima pada tambak endemik terjadi pada sekitar 15 hari inokulasi. Populasi phronima suppa mengalami penurunan setelah 15 hari inokulasi (Fattah et al., 2010). Pemberian pakan alami kombinasi jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan populasi phronima suppa hingga hari 28 hari (Fattah et al., 2014).

Budidaya udang windu dengan sistem tradisional atau aplikasi saponin berhasil mempetahankan ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sehingga stabilitas populasi phronima dapat dipertahankan di dalam wadah budidaya selama periode budidaya selama 40 hari.

Berdasarkan pengamatan lapangan selama ini bahwa ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan dan pengendalian faktor lingkungan secara penuh menjadi faktor penentu ketersedian phronima suppa secara memadai untuk mendukung peningkatan produksi udang windu dengan aplikasi phronima suppa.

Hal ini mengindikasikan bahwa phronima suppa telah dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan pemberian kombinasi fitoplankton jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp. Hal ini membuka peluang diproduksinya phronima suppa sebagai pengganti Artemia salina untuk keperluan operasional panti pembenihan dan budidaya tambak.

Kehidupan phronima suppa sangat dipengaruhi oleh kualitas media. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boyd dan Clay (1998) dan Odum (1971) bahwa kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan.

Pendapatan

Biaya operasional pada tambak demplot budidaya udang windu aplikasi phronima suppa sebesar Rp 6.660.000 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional tambak pada siklus sebelumnya sebesar Rp. 3,150,000. Demikian pula dengan hasil analisis R/C-rasio tambak demplot aplikasi phronima suppa (3,80) lebih tinggi dibandingkan siklus sebelumnya tanpa aplikasi phronima suppa (1,73).

Inovasi budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami phronima dapat memberi manfaat banyak kepada pelaku usaha yang bergerak pada sektor perudangan. Pakan alami phronima terbukti menggenjot pertumbuhan udang windu sampai panen lebih dini.

Panen udang windu size kecil membawa pengaruh positif dibandingkan pola budidaya sebelumnya. Paling tidak siklus perputaran modal pembudidaya berjalan cepat, terhindar dari masalah kematian udang umur dini dan membuka peluang berkembangnya usaha panti -- panti pembenihan udang windu. 

Teknologi budidaya udang windu berkelanjutan dengan mengaplikasikan pakan alami Phronima mulai dikembangkan dan diadopsi oleh pembudidaya di kecamatan Lanrisang. Demikian juga konsumen udang windu di Jepang sudah mengakui phronima sebagai pakan udang yang berkualitas dan ramah lingkungan. Maka tidak heran jika Jepang saat ini semakin meminati udang windu asal Pinrang khususnya dari kecamatan Lanrisang.

Keberhasilan oleh banyak pihak termasuk penyuluh perikanan dalam mengembangkan Phronima Suppa sebagai pakan alami dalam budidaya udang windu berkelanjutan menjadi tantangan dan kebanggaan kabupaten Pinrang di mata nasional dan internasioanl. Untuk itu diperlukan kerja keras dalam mendorong pembudidaya agar tetap mempertahankan komoditas udang windu sebagai salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan budidaya kabupaten Pinrang.

Phronima suppa disarankan untuk dijadikan produk unggulan nasional untuk mendukung peningkatan daya saing produk udang windu nasional. Untuk itu diperlukan kebijakan nasional dan dukungan sektor swasta dalam pengembangan phronima Suppa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun