Mohon tunggu...
de Gegan
de Gegan Mohon Tunggu... Petani - LAbuan Bajo | Petani Rempah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis apa saja dari kampung. Agar dibaca oleh orang orang kampung lainnya, yang kebetulan berada di kota atau di sebelah lingkaran bumi ini.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Isi SMS dari Bapak: Anak, Harga Cengkeh Turun Lagi

17 Oktober 2019   11:32 Diperbarui: 17 Oktober 2019   19:49 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oktober cerah, Labuan Bajo gerah.

Begitu status Facebook tetanggaku menggambarkan kondisi kota saat ini. Aku pun kepincut untuk mengomentarinya dan ingin menulis "gundah", tapi tak sempat. 

[Sementara itu notif SMS dari Bapak masuk]

"Anak, harga cengkeh turun lagi. Bapa tadi su pulang tanya ditoko" begitu pesannya
"Aduh mama sayang ee. Turun lagi kah? Biar su bapa, disimpan sa dulu. Torang (kita) tunggu harga terbaik sa baru kas lepas," balasku

Setelah itu tidak ada lagi SMS balasan dari Bapak. Beliau kecewa, itu pasti. Aku tertegun, sedikit murung membayangkan betapa rumitnya harga cengkeh yang cenderung fluktuatif satu triwulan terakhir ini.

Sudah jadi kosekuensi logis memang bahwa setiap kali masa panen cengkeh tiba, harga di pasaran juga pasti menurun. Terlepas dari masa panen raya maupun sedang. Kultusnya memang seperti itu.

Masa panen cengkeh produktifnya dilakukan pada bulan Juli hingga September. Dalam periode tersebut, penawaran harga yang sampai ke petani pun jauh dari teori kemakmuran. 

Tapi ya mau bagaimana lagi, dusta para tengkulak ini selalu menyasar para petani kecil. Petani kecil inilah yang selalu berhasil mereka 'kibuli', mengingat lahannya kecil dan modalnya juga sedikit.

Lalu bagaimana dengan petani besar? Dalam kondisi ini petani besar sedikit beruntung. Kendati selain memiliki lahan/kebun cengkeh yang besar, modal untuk membiayai masa panennya juga lebih dari cukup.

Sehingga kecenderungannya, petani cengkeh besar baru akan menjual hasil panennya ketika harga yang ditawarkan para tengkulak sesuai dengan ekspektasi. Dan bila perlu memilih untuk menyimpan hasil panennya terlebih dahulu dalam waktu yang lama sembari menunggu harga yang baik di pasaran.

Memang, secara nasional harga cengkeh dari tahun ke tahun trennya turun melulu. Terkhusus di Manggarai Raya, banyak petani cengkeh yang pasrah dan tetap menjual hasil panennya meski dengan harga murah.

Semisal pada bulan Agustus 2019 kemarin harga cengkeh masih 80 ribu per Kg. Tapi sedini malah turun ke 65 ribu per Kg. Tentu dengan harga seperti ini petani cengkeh merugi, lantaran hasil dari penjualannya tidak bisa menutupi biaya waktu masa panen kemarin.

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, di tengah merosotnya harga cengkeh di pasaran, tanaman atau pohon cengkeh petani banyak yang mengering dan mati. Penyebabnya antara lain karena usia pohonnya dan juga karena serangan hama wereng (hama penggerek batang). Hal ini juga yang menyebabkan tahun 2019 ini produktivitas pertanian cengkeh menurun.

Di sisi lain, biaya oprasional, seperti untuk ongkos petik cengkeh dan pemilah cengkeh (sortir) masih tinggi. Bila dikalkulasi untuk ongkos harian, rata-rata antara 70-80 ribu per orang(pemetik). Sementara untuk pemilah 10-15 ribu per orang. Belum lagi dengan biaya tambahan lainnya, seperti  makan dan minum.

Saat ini memang di tengah sekelumitnya harga cengkeh yang membelenggu para petani, pemerintah seakan cuci tangan dan bersikap"bodo amat". Pemerintah belum bisa menetapkan harga cengkeh, sehingga petani cengkeh menyetok hasil panennya untuk menunggu harga kembali stabil.

Harga Cengkeh Menurun, Dampak dari Harga Rokok yang Menanjak
Menurunya harga cengkeh selama ini tak terlepas dari rencana pemerintah untuk menaikan harga cukai rokok. Pemberlakuan kenaikan harga rokok ini memang baru 2020 nanti. Tapi setidaknya sesekini sudah memberikan efek psikologis terhadap pihak industri rokok dan juga petani cengkeh.

Faktanya, dengan besaran kenaikan pajak nantinya, otomatis pihak perusahan rokok mengurangi produksinya. Permintaan cengkeh di kalangan petani pun semakin sedikit. Hingga menyebabkan penurunan produktivitas di kalangan petani, pendapatan pun menurun.

Sementara hampir 93% hasil cengkeh petani di daerah diserap sepenuhnya oleh industri rokok dalam negeri. Saya kira pemerintah tahu menahu tentang ini dan tak perlu menutup mata.

Harusnya, hemat saya, di sini perlu semacam simbiosis mutualisme (saling menghidupkan) antara pemerintah, perusahaan rokok, pengusaha dan petani. Menjadi penting disini ialah bicara tentang prinsip keadilan antara pemerintah, perusahaan rokok dan petani. 

"Apa yang dilakukan oleh para petani semenjak Indonesia merdeka sudah memberikan sumbangsih yang besar terhadap ekonomi negara".

Juga telah menciptakan orang-orang kaya di republik ini yakni para pemilik perusahan rokok sekelas Gudang Garam sekalipun.

Dampak sosial dari terjun bebasnya harga cengkeh di setiap daerah ini juga secara tidak langsung terjadi usaha pemiskinan masyarakat secara struktural dan masif. 

Buktinya banyak lahan perkebunan rakyat yang tidak bisa diolah secara maksimal lantaran tak cukup modal. Para petani tak lagi mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun