Beberapa minggu belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu menjadi isu hangat di media sosial. Tagar yang seharusnya berisikan informasi kiat-kita untuk pindah ke luar negeri tersebut menjadi populer karena juga berisikan berbagai ungkapan kekecewaan terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Sebenarnya, isu ini bukanlah hal yang baru. Saya sendiri sudah pernah mengalaminya dan memiliki kesempatan untuk melakukannya sejak tahun 1990.
Pada saat itu, saya adalah seorang mahasiswa baru di kota Seattle, menuntut ilmu selama empat tahun ke depan. Keputusan untuk pindah ke negeri Paman Sam itu awalnya bukan pilihan. Tahun terakhirku sebagai pelajar SMA, saya lebih memilih melanjutkan studi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Alasannya, karena banyak teman-teman yang memilih kampus yang sama.
Namun, orang tua saya berpikiran lain. Mereka menganggap kualitas pendidikan di Indonesia belum mumpuni untuk membekaliku dengan ilmu kehidupan. (Ini pendapat pribadi, ya). Selain karena mumpung mereka mampu, belajar menjadi perantau adalah bekal yang baik untuk mandiri.
Namun, bukan untuk tagar #KaburAjaDulu.
Mama saya berpendapat, sebagus-bagusnya negara orang, lebih baik negara sendiri. Untuk itu, sebelum saya memutuskan untuk pindah, ada beberapa perjanjian yang telah disepakati, seperti: saya harus kembali ke Indonesia setiap musim liburan dan tidak boleh mencari kerja di negeri orang.
Sederhana, tapi cukup efektif untuk mengingat rumah. Alhasil, saya pun tidak menjadi diaspora dan tetap berada di Indonesia hingga saat ini.Â
Di Amerika, saya bertemu banyak orang Indonesia. Sebagian dari mereka memilih seperti saya, kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah. Sebagian lagi memutuskan untuk menetap di sana, mencari pekerjaan yang layak, dan tidak akan pulang lagi.Â
Alasan yang ditilik
Selama empat tahun menjadi mahasiswa internasional, saya juga berteman dengan banyak teman dari mancanegara. Geng saya bahkan terdiri dari para insan multi etnis.Â