Tidak banyak memori masa kecil yang tertinggal di benakku. Namun, menurut mama, dulunya saya adalah seorang penakut. Takut terhadap suara bising, terhadap orang asing, termasuk badut yang seharusnya lucu.
Saya tidak sendiri, anak saya sewaktu masih balita juga takut dengan badut. Memang terlihat aneh, karena kawan-kawannya di pesta ulang tahun ramai berkerebutan di sana.
Melihat pemandangan itu, saya malah bersyukur. Diriku teringat dengan tokoh Pennywise dari film IT besutan sutradara horor Stephen King. Lucunya, istriku sependapat denganku. Ia senang melihat anakku takut dengan badut.
Alasannya? Biar ia tidak mudah terpancing dari orang asing yang berniat jahat.
Masalahnya, di Amerika Serikat pada 1970an ada "Pogo si Badut." Ia sering muncul dalam pesta anak-anak tanpa diundang. Maksudnya baik, hanya ingin menghibur.
Nyatanya, John Wayne Gacy adalah pembunuh berantai. Ia telah menghabisi 33 nyawa selama karirnya sebagai Badut Pogo. Dan korbannya dikubur di halaman rumahnya di Chicago.
Berita tersebut begitu menghebohkan. Masyarakat Amerika begitu terperangah dengan kenyataan tersebut. Badut yang seharusnya lucu ternyata adalah psikopat.
Penggambaran ini menjadi menarik, dianggap sebagai simbol menyatunya humor dan horor. Dua hal yang seharusnya tidak bisa akur. Dan itu ada pada sosok badut.
Badut sendiri sudah memiliki sejarah yang cukup lama. Pada era Yunani Kuno dan Romawi Kuno, badut bertugas sebagai penghibur kaum bangsawan.
Mereka beraksi dalam gerakan-gerakan konyol dan menggambarkan sosok yang tolol. Untuk itulah, maka peran badut dianggap bukan realita.