Kalau soal idealisme, bisa saja ada titik temu. Tapi, kalau soal toilet, timur dan barat tidak akan pernah bisa bersatu.
Bagi penulis sebagai orang Indonesia, cebok harus pakai air. Sisa-sisa butiran kecoklatan pada anus rasanya tidak akan pernah bisa bersih jika tidak disiram. Tapi, tidak bagi bule. Cukup lap dengan tisu, semuanya beres.
Seorang kawan Amerika pernah berkata jika toilet di Indonesia itu jorok. Sebabnya sanitasi yang bersih seharusnya kering. Sementara bidek seringkali menimbulkan genangan air pada lantai. Menjadi tempat yang cocok bagi kuman bertumbuh.
Idealisme berasal dari budaya. Air di belahan bumi utara itu dingin. Bahkan jika pada musim panas. Tentu rasanya sakit jika terkena bagian dalam anus. Jadilah cebok cukup dilap saja.
Tapi, orang bule sendiri tidak menggunakan tisu pada awalnya. Bangsa Romawi kuno yang dulunya paling beradab pun menggunakan tongkat yang berujung sponge (busa). Setelah cebok, dicelupkanlah ke dalam sebuah wadah berisi cuka.
Penggunaan toilet paper sendiri pertama kali diperkenalkan oleh bangsa China. Persisnya pada abad ke-6. Tidak heran, karena penemu kertas adalah mereka. (Chai Lun, tahun 105 Masehi)
Sebelumnya agi orang kaya menggunakan kain dari wol yang sekaligus digunakan untuk mengelap badan untuk mandi. Kaum jelatanya sendiri menggunakan apa saja. Mulai dari kulit jagung, daun kering, hingga kulit binatang.
Di Amerika sendiri, tisu toilet baru beredar pada tahun 1857. Jauh sebelumnya, para nenek moyang Yankees ini menggunakan tongkol jagung. Lantas mereka beralih ke kain dan kertas apa saja. Dari bekas-bekas kalendar atau pembungkus.
Sementara masyarakat Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Selatan, Timur tengah dan beberapa di Afrika aman. Sejak dulu mereka telah menggunakan air untuk cebok.
Lantas apa yang terjadi?