Namanya Daya, mungkin dari kata hiDAYAtie. Entahlah, saya baru mengenalnya belum dua tahun.
Baju gamis berwarna biru, melengkapi posenya yang anggun pada gambar profil di Kompasiana. Sekilas itu lirikanku, ketika ia menyapaku dalam kata tertata.
Tulisannya indah, sebagaimana pengetahuannya yang alimiah. Tawa bercampur pedih, untaian kalimat melantun sedih. Itu yang kubaca.
Lembut berbalut citra . Celoteh literasinya menghantar duka berkabut sutra. Ketabahan bisa kureka, atas perjuangan jiwanya yang tidak biasa.
Mengulik jalan demi hidup, meniti jembatan dalam sayup, menapak lautan walau basah kuyup. Batasan bukanlah halangan. Suara hatinya adalah literasi yang tidak pernah meredup.
Jiwanya liar, terhadap fenomena sosial yang semakin mengakar. Hatinya binal, haus akan kehidupan yang penuh damai. Fenomenal!
Daya namanya, singkat bermakna. Memaknai dua sudut bayang dalam pikiran yang selalu melayang.
Daya adalah kepastian. bulir kecil dengan kekuatan mortir. Gunung pun tak berbekas jika ia hadir di tengah kelas.
Daya adalah kepasrahan. Meskipun sesaat, ia tetap mampu menguak luka lama. Rapuhnya jiwa yang pernah terluka.
Daya adalah... Ribu bahasa dalam makna yang tak pernah terbahas.