Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Nama, Mengubah Nasib dalam Budaya Tionghoa

20 Desember 2020   19:09 Diperbarui: 21 Desember 2020   16:35 1519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mengubah Nama Mengubah Nasib (sumber: mandarinhouse.com)

Kendati demikian, Mak juga memperingatkan para pengubah nama untuk tidak mengharap keajaiban instan. Sebagai contoh, orangtua yang ingin anaknya menjadi juara kelas, tidak akan bisa tanpa adanya usaha ekstra untuk menuju ke arah situ.

"Mengubah nama dapat membawa kepada kemudahan nasib, namun tidak akan melampaui hal fundamental yang dimiliki seseorang," demikian ujar Mak.

**

Seringkali orang lain melihat seseorang lebih hebat dari apa yang dirasakan sendiri oleh sang pemilik nama. Sebagai contoh, Chin Foukin yang terbebas dari penyakit paru setelah berganti nama. Meskipun ibunya meyakini itu sebagai penyebab, namun ia sendiri lebih memilih logika bahwa imun tubuhnya semakin kuat seiring bertambahnya usia.

Mandy Pang juga masih belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai setelah mengubah namanya. Ia akhirnya berhenti dari pekerjaan barunya yang baru digeluti selama sebulan dan memutuskan untuk melanjutkan studinya.

**

Di bagian lain Asia, tepatnya di Korea Selatan, telah terjadi 725.000 pergantian nama dalam kurun satu dekade terakhir. Tidak ada data statistik lebih lanjut mengenai motivasi tersebut. Namun menurut informasi, pergantian nama bagi lelaki dimaksudkan untuk lebih mudah mendapat pekerjaan, sementara untuk wanita dikhususkan untuk masalah asmara. Sebagaimana kisah dari Yu Do-hyung yang dipetik dari sumber voa-indonesia.

Ketika ia pertama kali mendapatkan KTP, Do-hyung merasa bingung. Wajah di foto terlihat akrab, namun nama yang tertera terasa asing. Do-hyung tidak bisa menerima nama barunya yang berkonotasi seperti lelaki. Namun ayahnya tidak bermaksud demikian. Semuanya hanya untuk membawa keberuntungan bagi sang gadis.

Hingga kini, masyarakat Korsel masih mempercayai bahwa ketiadaan jodoh bagi seorang wanita adalah hal pembawa sial bagi keluarga. Syahdan, hal ini lantas melibatkan orangtua yang khwatir turut serta terlibat dalam mempertahankan marwah keluarga dari ancaman nasib sial.

Akan tetapi menurut Grace Chung, seorang dosen studi keluarga di Seoul National University, kesialan yang muncul justru berasal dari budaya Korea yang konformis. Perempuan yang belum menikah dipandang sebelah mata oleh para keluarga dan koleganya.

Bagi wanita-wanita muda yang tidak tahan banting, hal ini tentu sangat memberatkan. Akhirnya mereka melakukan apa saja untuk menyenangkan orangtua dan orang dekat mereka, termasuk mengganti nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun