Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Serangan Fajar Menjelang Pemilu, Masihkah Relevan?

5 Desember 2020   13:05 Diperbarui: 6 Desember 2020   07:03 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi serangan fajar jelang Pemilu. (Foto: KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)

Ilustrasi Serangan Fajar (sumber: rmoljabar.id)
Ilustrasi Serangan Fajar (sumber: rmoljabar.id)
Diambil dari sumber mediaindonesia.com, rata-rata tingkat politik uang di dunia adalah 14,22%. Yang paling tinggi adalah Uganda (41%), disusul oleh Benin (37%), dan Indonesia berada di urutan ketiga dengan nilai 33%.

Meskipun demikian, apakah politik uang ini, masih efektif dalam menentukan pemenang? Tidak ada survei khusus yang menjelaskan hal ini. Tidak ada yang bisa memahami isi hati pemilih, siapakah calon yang dipilihnya.

Namun setiap suara pemilih bagi paslon sangatlah berharga. Meskipun belum terbukti, mereka yang melakukan serangan fajar harus membeli keyakinan bahwa hal yang wajib sudah dilakukan. Kalaupun tidak terpilih, penyesalan tidak akan diamini.

Perbedaan dan Persamaan Praktik Politik Uang

Sebuah bahasan mengenai politik uang ini dibahas seacara menarik pada buku "Kuasa Uang; Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru," karya Burhanuddin Muhtadi.

Ia mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada praktik politik uang antara daerah pedesaan dan perkotaan. Begitu pula secara demografis tidak ada perbedaan signifikan antara taraf pendidikan dan kemiskinan dalam hal pengalaman ditawari politik uang.

Pemilih yang berpendidikan tinggi dianggap tidak tergiur dengan politik uang, sementara penduduk di bawah garis kemiskinan dianggap rentan dengan serangan fajar. Menurut Burhanuddin, tidak banyak berpengaruh, tidak ada hubungan yang signifikan.

Sasaran kepada Pemilih Non Partisipan

Sasaran yang paling tepat aksi bagi-bagi uang ini lebih menyasar kepada para pemilih mengambang atau yang belum memutuskan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pemilih loyalis terhadap sebuah partai politik di Indonesia, relatif kecil, yaitu hanya berkisar 15% saja.

Namun demikian, menurut Burhanuddin, mereka yang masuk ke dalam kategori non partisipan juga tidak menjamin langsung memberikan suara kepada pemberi hadiah.

Sebuah contoh yang dikutip dari bbc.com, seorang warga Solo yang bernama Sriyanto pada tahun 2019 lalu. Ia mengaku telah tiga kali menerima uang jelang Pemilu dari tiga partai yang bertarung. Uang tersebut ia ambil, dan mencoblos ketiga-tiganya pada saat berada di bilik suara.

"Pas milih saya coblos tapi saya coblos semua. Lha sana (parpol yang memberikan uang) suruh coblos, ya saya coblos. Mbuh bener apa ndak saya ndak tahu." Ujar Sriyanto.

Sementara itu, warga Solo lainnya bernama Maya, mempunyai pendapat sendiri. Meskipun sudah menerima bingkisan dari caleg tertentu, ia tetap kekeuh memilih sesuai dengan pilihan hatinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun