Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi di Zaman Soeharto, "Sek Enak Zamanku, toh?"

14 Mei 2020   12:20 Diperbarui: 14 Mei 2020   12:27 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Soeharto. Sumber: apahabar.com

Bukannya ingin membanding-bandingkan, namun penulis hanya ingin berandai-andai saja. Sekiranya pandemi Covid-19 terjadi di zaman Soeharto, seperti apakah virus ini akan merajalela?

Slogan "Piye Kabare? Sek Enak Zamanku Toh?" masih sering muncul dari hati yang sedang gundah akibat berbagai masalah kehidupan. Bagaimanapun juga, disaat hati sedang jengah, kenangan masa lalu serasa ingin kembali terjamah.

Bukan karena jajaran presiden sesudah era Orde Baru, tidak sebagus Soeharto, namun periode 32 tahun berkuasa terasa cukup lama menyerap di dalam hati sanubari rakyat.  

Terlepas dari segala kontroversi yang pernah terjadi di zaman Soeharto, sebagian masyarakat, khususnya generasi kolonial masih merasakan kehidupan yang berbeda di zaman Orde Baru.

Kebebasan berbicara yang dibredel, pilihan politik yang terkunkung, hingga berbagai pelanggaran HAM, mewarnai protes aksi mahasiwa tahun 98 yang akhirnya melengserkan the Smiling General.

Namun manusia Indonesia yang baik hati juga tidak akan pernah menyangsikan kebaikan yang pernah dinikmati di era Soeharto. Harga bahan pokok yang terjangkau, kerjaan yang mudah didapat, serta situasi keamanan yang kondusif.

Nah esensi pertanyaan dari artikel ini, jika saja Pandemi Covid-19 terjadi di zaman Orde Baru, apakah slogan "Sek Enak Zamanku Toh?" masihkah berlaku? Mari kita berandai-andai.   

Uang 100,000 rupiah didalam dompet terasa demikian banyaknya. Untuk ukuran penulis yang rada hemat, uang sebesar itu dapat bertahan di dalam dompet berminggu-minggu lamanya.

Bandingkan dengan Lilis, pegawai pertama penulis yang bergaji 75.000 rupiah per bulan. Jumlah yang lumayan cukup untuk hidup aman. Ditambah lagi suaminya, Ray, adalah seorang manajer muda perusahaan lokal nasional, yang mungkin bergaji dua hingga tiga kali lipat istrinya.

Sebagai sepasang keluarga muda yang baru saja berkeluarga dan belum dikaruniai momongan, mereka bisa mencicil rumah, motor, dan juga membiayai dua adiknya yang masih duduk di bangku kuliah.

Bagi penulis sendiri, memiliki 5 orang pegawai pada saat memulai usaha, tidaklah terasa terlalu berat. Perusahaan yang baru saja dirintis mampu menutupi semua biaya operasional dan juga gaji pegawai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun