Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Festival Chung Beng, Para Leluhur akan Memahami Arti Social Distancing

19 Maret 2020   18:00 Diperbarui: 25 Maret 2020   11:37 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cembengan sebentar lagi...

Bagi yang belum familiar dengan istilah ini, dapat disamakan dengan tradisi ziarah kubur orang Tionghoa. Pada penanggalan imlek (2571) alias tahun 2020, periode ini akan berlangsung dari tanggal 22 maret dan mencapai puncaknya pada tanggal 05 April 2020. Tradisi Tionghoa selalu sarat dengan budi pekerti yang banyak mengadopsi ajaran kehidupan dari Confucious (551-479 SM). Demikian pula dengan festival Chung Beng atau Qing Ming.

Dua terjemahan yang paling umum adalah Hari Menyapu Kuburan (Hari Pembersihan Pusara) dan Festival Bersih Terang (Qing: Bersih dan Ming: Terang). Di Indonesia sendiri, istilah Chung Beng yang berasal dari dialek Hokkian lebih popular dari nama mandarinnya, Qing Ming.

Di tengah-tengah kesibukan, festival yang memaknai peringatan dan penghormatan kepada nenek moyang ini, juga dimanfaatkan sebagai waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Semuanya atas alasan kebersamaan yang terjadwal setahun sekali saja.

Bahkan ada yang berpendapat bahwa festival ini, memiliki makna kewajiban keluarga yang lebih penting daripada imlek. "Imlek tidak mengharuskan seluruh warga berkumpul, namun sebagai keturunan, adalah wajib untuk mengunjungi makam leluhur." Demikianlah kata almarhum nenek penulis yang masih terngiang-ngiang di telinga sampai sekarang.

Seluruh warga yang tersebar di berbagai pelosok, pada umumnya akan berkumpul di kota kelahiran, dimana makam leluhur berada. Hal yang belum tentu kelihatan pada saat perayaan Imlek.

Bagi warga Tionghoa penganut Taoisme dan Buddhisme, perhelatan tradisi terasa lebih kental dengan dupa, kertas sembahyang, arak putih dan persembahan aneka makanan. Namun bagi warga yang memeluk agama lain, mendoakan arwah leluhur berdasarkan kepercayaan masing-masing juga lazim dilakukan.. Indahnya toleransi dan kebersamaan.

Pemahaman dari ritual festival Chung Beng pun terbagi dua. Ada yang memaknainya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, dengan mendoakan arwah mendiang. Sementara tidak sedikit juga yang menganggap bahwa leluhur lah yang "mendampingi" para dewa, sehingga permintaan dari turunannya akan lebih mudah "dibisikkan" ke telinga para penguasa langit.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita melihat sejarah singkat festival Chung Beng ini;

Alkisah Kaisar Zhu Yang Zhang pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M) yang berasal dari keluarga yang sangat miskin. Saking miskinnya, kedua orangtua Zhu meminta bantuan kepada sebuah kuil untuk membesarkannya. 

Sewaktu dewasa, Zhu Yang Zhang bergabung dengan kelompok pemberontakan Sorban Merah yang melawan Dinasti Yuan. Berkat kecakapannya, Zhu segera mendapatkan posisi penting dalam gerakan pemberontakan yang berhasil menaklukkan Dinasti Yuan dan menjadi Kaisar.

Setelah menjadi Kaisar, Zhu Yang Zhang kembali ke desanya dan mendapati bahwa kedua orangtuanya telah meninggal dunia dan keberadaan makamnya tidak diketahui. Untuk itu, sang Kaisar kemudian memberikan titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah kubur dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing.

Pada hari yang sudah ditentukan, rakyat berbondong-bondong melakukan ziarah kubur sambil membersihkan makam, dan menempelkan kertas kuning sebagai tanda bahwa makam tersebut telah dibersihkan.  Sang Kaisar kemudian melakukan ziarah kepada makam yang tidak ditandai, dengan asumsi bahwa makam-makam tersebut adalah milik kedua orangtua, sanak keluarga, dan juga leluhurnya.

Meskipun tradisi Chung Beng sangat kental dengan ajaran Taoisme dan Buddhisme, ada baiknya untuk memandang nilai tradisi ini sebagi suatu bentuk perbuatan baik untuk menghormati orangtua dan yang dituakan yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita.

Dalam Buddhisme ada sebuah ajaran yang disebut dengan Pattidana, atau pelimpahan jasa kepada arwah mendiang para leluhur. Ajaran ini terkait dengan kegiatan yang dilakukan bagi orang yang telah meninggal dengan tujuan agar mendiang turut berbahagia atas kebajikan yang dilakukan oleh sanak keluarga.

Jadi sebenarnya yang dipersembahkan, bukanlah makanan, uang kertas dengan nilai trilyunan, ataupun mobil sport keluaran terbaru. Sesungguhnya yang dapat dinikmati oleh arwah para leluhur adalah Doa yang dilandasi dengan perbuatan kebajikan yang nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun