Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Trauma dengan Sang Merah Putih

23 Januari 2020   13:41 Diperbarui: 23 Januari 2020   18:27 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Nusantara News

Standar ukuran rasa Nasionalisme...

Rasa cinta kepada bangsa dan tanah air tidak memiliki standar ukuran. Bagaimana seseorang dapat disebut memiliki nasonalisme yang tinggi? Apakah karena dia rajin mengikuti upacara bendera? Atau karena taat membayar pajak? Tidak ada yang tahu, karena semangat nasionalisme adalah sebuah perasaan, layaknya rasa cinta kepada ibu bapak.

Atau memang nasionalisme harus dibentuk sejak kecil melalui rasa takut? Kembali kepada pengalaman pribadi, semangat nasionalisme saya terbentuk sejak kecil melalui rasa takut.

Sebagai seorang anak kecil, saya takut kepada orang tua saya. Sebagai seorang yang beriman, saya takut pada Tuhan, dan sebagai orang yang mencintai nusa dan bangsa, saya takut kepada Indonesia.

Saya takut kehilangan kedua orang tua saya, saya takut berbuat dosa, dan saya juga takut kehilangan makna sebagai bangsa Indonesia. Bagi saya inilah nasionalisme.

Saya sering merasa miris dengan berita manusia Indonesia yang tidak segan segan mengecilkan nilai bangsa ini. Bahkan ada yang dengan nyata membakar Sang Saka Merah Putih (wartakota.tribunnews.com).

Jika ini disebut dengan keberanian, maka saya memilih untuk tetap merasa takut. Bagi saya keberanian membakar bendera setara dengan mengoles BERAK di wajah sendiri. Atau dengan kata lain, memiliki keberanian untuk merendahkan harga diri.

Satu satunya alasan mengapa guru harus mengambil tindakan keras atas penghinaan Sang Merah Putih, adalah karena terlalu banyak darah pahlawan yang tumpah demi pengibarannya. Bukankah makna Salib Kristus juga demikian adanya? Bukankah pengorbanan kedua orang tua juga demikian kenyataannya? Balaslah jasa orang tua kita dengan membakar fotonya, saya ingin melihat bagaimana menjadi anak Durhaka yang sesungguhnya.

Pembodohan atau Pembodohan?

Kembali kepada jaman dahulu di tahun 1980-an di mana akses informasi tidak sebebas sekarang. Siaran televisi hanya berisikan lagu Indonesia Raya, Azan Mahgrib, dan pengumuman harga cabe.

Koran dan majalah yang beredar beriskan informasi yang "pantas" untuk diketahui oleh manusia Indonesia pada jamannya. Pembodohan... itulah yang sering disampaikan pada zaman reformasi sampai sekarang atas warisan orde baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun