Suara gending Jawa yang terdengar di dalam telinga begitu lengkap malam ini, melengkapi turunnya air di atas genting ruang-ruang gelapku. Nyanyian pada kesendirian seperti perabotan rumah tangga yang selalu saja menjadi pajangan mewah manusia di dapurnya sendiri dengan entitas berbeda dari barang-barang itu.
Lalu dengan senyumnya, yang kini aku lihat mulai getir untuk dikecap, dirasa, bahkan didengarkan kata-katanya, apakah benar kegelapan pada sesuatu akan selamanya menjadi wujud kegelapan saja?
Jiwa memang sungguh hanya begitu, angan apa lagi, ia seringkali jauh terlampaui bagai atmosfir bumi yang berputar terus pada gravitasinya sendiri. Siapapun yang berpikir akan gelap, akan terus ada pada kegelapan, tetapi siapa yang berpikir dengan terang, sesuatu akan terus menerangi hidupnya sendiri.
Riang pada kerinduan sepertinya benar hanya khayalan, aku yang memujamu kini mulai menghilangkanmu dari jejak-jejak pikiranku tetapi tidak dalam hidupku. Engkau sesuatu yang belum aku miliki tetapi bayangmu seperti Ratu dalam terang yang mengilhami hidupku, padahal aku sama sekali tidak beranjak, hanya terkukung pada imanjinasi semu yang sama sekali tidak aku realisasikan pada kenyataanku sendiri.
Rasanya semua bentuk keindahan dunia adalah wanita, pria-pria manapun selalu mengagumi wanita bagaikan pemandangan indah dari kebun teh di lereng Gunung Dieng sana, dataran tertinggi di pulau jawa.
Mungkinkah aku bisa memilikimu suatu hari nanti makluk yang indah itu bernama wanita? Lamunan ini sepertinya memang semakin jauh, dikala ketidakberanian ini, yang hinggap pada mentalku mendekatimu adalah neraka yang benar harus aku selesaikan segala bentuk bara apinya.
Tetapi, benarkah dibalik keindahan tidak ada sesuatu yang mengandung unsur kegelapan dan kesengsaraan? Inilah paradox dari wanita itu, ia indah sekaligus hal yang paling buruk. Dalam memujanya aku bahagia serta menderita karena pandangan-pandangan akan pemujaan itu, terbuai oleh imajinasi dan harapanku sendiri yang tinggi, padahal mereka juga punya harapan sama seperti diriku.
"Manusia adalah harapan dan harapannya itu merupakan surga sekaligus neraka dunia bagai dirinya sendiri. Maka harapan pada wanita sama halnya engkau mengaharap pada dirimu sendiri, yang justru sebenarnya diri hanya perlu tanpa harapan. Sebab apapun tanpa harapan merupakan jalan untuk memerdekakan setiap manusia termasuk para wanita itu sendiri yang kau puja-puja".
Sewajarnya sudah menjadi bagian dimana kekaguman pada yang lain dari diri sendiri merupakan sandungan-sandungan akan perkembangan hidup. Mencintai berarti harus siap patah hati, berharap harus siap hidup dalam kekecewaan. Tetapi dengan penderitaan yang dimaknai secara mendalam tetap saja akan membawa dunia pada pencerahan bagi hidup manusia itu sendiri.
Untuk itu aku tidak menyesal telah mencintaimu "wanita", engkau adalah kegelapan sekaligus cahaya bagiku yang mengilhami ruang kosong yang harus aku isi. Jejak pembaharuan lahir dari penderitaan, tetapi penderitaan jika itu dirasakan akan menjadi sebuah jalan bawasannya, guna menutupi segala kekurangan dan derita manusia harus membuat suatu hidup yang baik, indah, dan bermanfaat bagi mereka orang-orang yang ada dilingkungan masyarakatnya.
Derita bagi jiwa-jiwa manusia adalah pengetahuan, dan ketika manusia mempersiapkan pengetahuannya, seharusnya dibaktikan pada masyarakat dan digunakan sebagai bagian dari kesejahteraan masyarakat. Karena  bagian dari penderitaan separuhnya adalah sikap yang harus dituju pada sebuah kebenaran dan jiwa manusia tidak dapat mengingkarinya.