Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seni Bodo Amat yang Bermasalah

8 Juni 2021   19:41 Diperbarui: 17 Juni 2021   08:56 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pixabay.com

Dalam sebuah ruang yang tersimpan, tembok-tembok itu bak bui yang pada saatnya akan rontok dimakan usia. Suatu ungkapan yang harus disiasati betul, bawasannya tidak ada gading yang tidak retak. Semua menunggu masa seperti pohon itu, yang ada saat berbuah dan ada saat dia akan tumbang mati tersambar petir atau ditebang oleh manusia, tidak menutup kemungkinan pohon itu akan lapuk termakan usai dan keropos.

Bab memahami diri sebagaimana manusia, memang susah-susah gampang. Bagaimana kemapanan dalam diri yang terus disandingkan pada mood, pada pengakuan atas diri, yang tidak sedikit harus pula diri harus diakui oleh persepsi orang lain.

Tetapi dari dasar sebuah pengakuan itu, rasa hormat pada diri sendiri merupakan rasa haromat tertinggi kita sebagai manusia. Mungkin ketika diri terus diperosotkan pada sebuah krisis hidup yakni sebuah keadaan yang tidak diinginkan oleh diri. Sepeda yang paling mahal sekalipun itu tidak akan bernilai ketika tidak ada persepsi menilai sepeda itu bernilai.

Sekan menjadi persepsi yang jungkir balik, sama halnya manusia itu memandang mana kebahagiaan dan mana penderitaan yang nyata bagi hidupnya. Air laut itu asin dan sisi keasinan itu sebenarnya adalah identitas yang melekat pada laut itu sendiri. Dan tentu manusia itu harus sadar bawasannya dibalik semua kekurangnyanya dan kelebihannya adalah identitasnya sendiri.

Saya rasa begitu juga diri-diri manusia dalam memandang identitas, yang kesemuanya mentok pada persepsinya masing-masing atas dasar pengakuannya masing-masing. Namun apakah kita hanya dapat melihat diri dari sudut pandang kita sendiri saja dalam mengikuti gravitasi hidup yang naik dan turun pada rasa-rasa manusia itu sendiri?

Ini memang seperti tidak terlihat, bayangan gaib dari setan-setan penunggu gunung-gunung bak bayangan imajiner yang selalu hadir dalam setiap imajinasi kita. Begitu pula dengan keburukan-keburukan kita yang dipersepsikan terus menerus sebagai sebuah kekurangan diri yang semu. Apakah benar keburukan itu ada dalam diri setiap manusia, bukan bagian dari identitas saja sama halnya sebuah kelebihan yang melekat?

Kelebihan dan keburukan sendiri hanyalah sebuah citra dari manusia. Bayangan akan ketakutannya, ingin menyenangkan orang lain, bahkan menghindari untuk dibenci oleh orang lain. Pemikiran seperti itu memang tidak pernah akan ada habisnya. Namun bagaimanakah cara agar kita dapat berdamai dengan segala persepsi tersebut?

Maka izinkan saya untuk membuat suatu metafora, ranting-ranting dari pohon memang terlihat seperti rapuh jika dibebankan pada beban yang berat. Bukankah dibutuhkan ranting yang kuat untuk dapat menahan beban berat itu?

Sungguh itu seperti halnya mental manusia yang terus terbujur kaku bila kerapuhan menjadi focus utamanya, bukan pada latihan-latihan menguatkan diri bagaimana diri ditempa banyak suatu masalah. Untuk itu, apakah hidup manusia harus mencari masalah? Sebenarnya tanpa dicari manusia sendiri adalah masalah bagi dirinya sendiri.

Ketika dirinya memandang hidup itu sendiri, ia akan berkutat pada pikirannya, yang dalam menimbangnya akan menjadi masalah. Semakin manusia itu berpikir, semakin ia melahirkan masalah-masalah baru. Bukankah dengan berpikir itu juga harus menemukan sebuah solusi dari masalah pemikirannya? Inilah yang terkadang dilupakan, manusia butuh melupakan masalahnya dan tidak memikirkannya lagi untuk tidak bermasalah.

Sesegugan hidup harus diakui adalah masalah, pikiran kita bermasalah, ditambah pikiran orang lain juga adalah masalah bagi mereka. Atas dasar itu pengakuan-pengakuan pada suatu hal pada ujungnya akan dilanda masalah. Seperti ranting pohon yang dibiarkan mengering, ia akan keropos bila tidak ada sumber-sumber yang dapat menguatkannya.

Jadi yang membuat pertanyaan nanti adalah, apakah kekuatan manusia pada hidup ada dalam masalah-masalahnya, dimana ketika ia sendiri tidak ingin ada masalah sebenarnya dirinya mengundang masalah itu?

Mark Manson dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat" mungkin adalah upaya lari dari masalah yang sebenarnya dirinya bermasalah. Saya ingat betul bagaimana dirinya menjabarkan suatu permasalahan yang dipersepsikan menjadi sebuah seni untuk bodo amat. Apakah bodo amat sendiri juga bukan masalah?

Sebuah romansa yang diperuncing dalam karya Mark Manson itu adalah ketika dirinya harus putus dengan pacarnya, patah hati, menyembuhkan diri, dan seni bodo amat adalah jawaban dari masalahnya yang sebenarnya bermasalah.

Maka dengan sebuah pernyataan itu, karya Mark Manson merupakan karya yang sedikit agak telanjang, dimana dia sendiri dan mungkin menjadi representasi public sama-sama menelenjangi masalahnya dan bodo amat menjadi masalah baru, yang diselsaikan pun ujung-ujungnya akan mengundang masalah kembali dengan berpatokan, hidup manusia pada dasarnya tidak akan pernah selsai pada satu hal yang menjadi biang masalah.

Dan masalah dari apa yang disebutkan oleh salah satu hal dalam buku sebuah seni untuk bersikap bodo amat adalah ketika Mark atau kita putus dan tidak berpacaran, Mark dan kita tidak dihadapkan pada drama maupun konflik berpacaran. Namun bukankah kita dan Mark menghasrati berpacaran, dimana bayangan kita dan Mark mungkin ada pada kebahagiaan dan seperti selayaknya manusia harus berpasangan?

Tetapi lagi-lagi, setiap harapan selalu saja mengundang sebuah kekecewaan, bahkan pacaran sendiri bukan hal yang mulus-mulus saja dan mengundang banyak masalah, dan masalah yang paling dekat dengan pacaran adalah putus, kecewa, dan sakit hati. Untuk itu jika tidak berpacaran maka tidak akan merasakan itu, dan bodo amat sebagai pijkan Mark Manson sebagai pelipur lari dari masalah-masalahnya, bukan hanya Mark Manson saja tetapi kita semua.

Apa yang dapat dipetik dari buku "Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat" pada dasarnya adalah garis besar ketika kita tidak bermasalah dengan apa yang kita sebut bermasalah dan pada akhirnya kita akan jatuh pada lari dari masalah, yang secara hakiki hidup itu sendiri bagi manusia adalah bermasalah. Dimana-mana ada masalah, di sekelompok masyarakat, bahkan didalam diri manusia itu sendiri juga adalah masalah.

Jadi pada intinya, sebuah seni untuk bersikap bodo amat adalah sebuah ekspolorasi diri dari penderitaan hidup, yang tentu didramatisir bodo amat pada masalah itu yang akarnya tetap sebuah masalah. Tetapi saya sendiri menaruh perhatian lebih pada karya Mark Manson yang satu ini, "Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat".

Memang masalah sendiri harus dilalui dengan cara bodo amat dimana itu merupakan bentuk kesetujuan saja pada karya Mark Manson, yang pada akhirnya jatuh pada masalah-masalah baru tetapi jika secara terus menerus bodo amat, kita akan kuat pada masalah apa yang sedang kita jalani.

Ketika kita melatih ranting-ranting mental kita, dengan sendirinya akan terbiasa pada masalah dan kuat menghadapi masalah, yang muara dari masalah kita itu adalah pekerjaan rumah dari penderitaan yang harus kita alami dalam menjalani hidup ini. Hidup bermasalah yang harus menyelsaikan masalah yang pada ujungnya akan terus menjadi masalah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun