Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Filosofi Bucin sebagai Tren Zaman

12 November 2019   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2020   16:04 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
medium.com/@opankarangora

Tetapi perlu dicatat bahwa; semua manusia berpotensi menjadi Bucin tergantung dari bagaimana manusia itu sendiri memandang bahagia. Jika bahagia dari cinta menjadi "Bucin" merupakan realitas yang harus dijalankan itu, tidak dipungkiri manusia akan menjadi Bucin pada waktunya.

Oleh karenannya pengerjaran-pengerjaran akan bentuk cinta itu sendiri memang sah-sah saja sebagai manusia yang ingin dibahagiakan cinta. Derita dan bahagia yang dibawa dari konsep cinta seperti telah melampaui saat kita harus menjadi budak cinta atau membutuhkan cinta itu sendiri sebagai sebuah pembeda dari hidup manusia.

Bersama dengan kebahagiaan; memang rasa bahagia tidak dapat diukur oleh logikanya sendiri. Setiap dari satu manusia dengan manusia lain mempunyai caranya untuk menjadi manusia yang berbahagia.

Mungkin dengan "Mem-Bucin" itu sendiri adalah titik tertinggi bahagia mereka, yang akan menjadi bahagia dengan laku membudakan diri pada cinta.

Ingatan memang hanya menjadi ingatan. Saya kira Bucin sebagai tren jaman sendiri tetap akan dijadikan sebuah kenangan pada masanya juga oleh milenial. Seperti karya dari lagu-lagu masa lalu yang dalam kenangannya manusia mengingat saat-saat itu dimasa depan.

Romansa kisah dari generasi milenial yang mungkin dalam dekade kedepan sudah tidak dapat lagi menjadi muda diganti dengan muda-mudanya generasi Z. Dan bucin akan tetap menjadi prodak bahasa kebudayaan zaman yang akan terkenang nanti oleh generasi milenial ketika mereka sudah mempunyai anak, yang mana "Bucin" itu hanya untuk bagaimana anak dapat tumbuh dan berkembang secara layak.

Yang perlu tetap harus diikuti adalah bagaimana nanti generasi Z membangaun budaya cintanya sendiri, apakah mereka akan seperti milenial yang membangun romansa cintanya dengan dan sebagai 'Bucin" karena pada saat itu menjadi pemain cinta menghamba pada karya-karya dari lagu cinta sangat begitu komplit seperti di sebelum tahun 2010-an?

Bukankah karya lagu-lagu saat ini yang banyak berisi patah hati dikombinasikan dengan dangdut koplo untuk bergoyang seperti; Kartonyono ninggal janji atau entah apa yang merasukimu versi gagak menjadi pertanyaan sendiri sangat ambigu sekaligus bermakna dua? Jadi sekiranya fenomena apa nanti "jaman" di masa depan yang akan di buat oleh generasi Z dalam memandang budaya baru akan cinta mereka? 

Mungkin jika saya mau berhipotesa membaca jaman; "Bucin" tidak mungkin akan menjadi warisan yang abadi untuk setiap zaman.

Nantinya, generasi berikutnya yakni; generasi Z yang patah hati sekaligus berjoged dangdut koplo, akan membuat sebuah wacana bahwa; mereka bukan budak cinta yang terlahir dari romasa, tetapi menjadi budak bahagia yang tidak peduli cinta, yang penting joged saja saat bahagia maupun menderita karena cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun