Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kenikmatan Kecil Tanpa Tuhan

25 Agustus 2019   22:28 Diperbarui: 26 Agustus 2019   00:08 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar Caping.co.id

Sesat, aku harus merasa lagi bahwa: aku kini telah menikmati kenikmatan kecil itu. Entah bagaimana aku harus mengunyah realitasku, haruskah aku berpikir saja: ini akan cepat berlalu seperti badai di padang pasir sana. Terlebih bukankah tengah menjadi kepastian kini, "sesuatu itu akan mati, dan harapan itu yang terkadang sangat menyakiti"?

Terlahir sebagai manusia memang terkadang dihadapkan pada realitas yang ambigu, paradoks dan bergantung pada opini banyak orang. Sepertinya "itu" yang menjadi suatu tawaran dunia, bahwa: "manusia ter-bentuk hidupnya secara tidak sadar: manusia dibentuk oleh kekuatan manusia lain yang dianggapnya sebagai benar menurut penafsirannya sendiri.

Berbagai hitung-hitungan manusia dalam sikap itu, isme-isme telah telah menjadi penyakit baru bagi manusia. Bukan apa, isme terkadang salah ditafsirkan sebagai dasar hidup manusia bahwa: sebelum manusia mengenal isme, sebenarnya ia "manusia" harus mengenal kemanusian terlebih dahulu sebagai dasar dari pijakan "isme-isme" yang manusia kenal.

Budaya transaksional yang saat ini berlaku, apakah "isme" tidak akan menjadi batu sandungan dalam mengenal kemanusiaan? Isme sebagai manusia berkehendak: mungkinkah akan menjadi moralitas baru tanpa menimbang "moralitas" yang sejati? Tentang bagaimana menjalani hidup secara bersama dalam kepentingan transaksional abad 21 ini, bukakah pantas manusia bertanya?

Hidup dalam kerumunan bersama satu tujuan seperti bias khayal yang tidak rasional. Setidaknya aku sebagai manusia abad 21 mempertanyakan itu. Mungkinkah benar suatu tujuan bersama itu? Sama-sama mencapai tanpa ada upaya saling menguasai antara satu dengan yang lainnya di dalam kerumunan kerja sama?

Antara yang di dalam posisi tersebut lemah dan kuat, mungkinkah manusia menjadi tanpa hasrat menguasai? Bukankah kehendak alamiah manusia saling menguasai seperti sirkus hutan belatara yang luas saling memangsa dengan apa adanya, dan menjadi sesuatu yang lumrah harus terjadi dalam kehidupan ini? Para manusia adalah bentukan dimensi-dimenasi kesadaran, tentang kesadaran berbagai makhluk yang kita lihat, itulah manusia!     

**

Dunia transaksional, telah lama sebenarnya aku tunggu masa dimana; aku berani menjual diriku, bukan aku si murah yang harus terobral sebagai manusia, tetapi terkadang mengobral diri untuk laku pada akhirnya menjadi jalan tengah yang pasti. Apakah seorang manusia hidup harus ternilai atau dinilai? Tentang wajahmu yang aku tunggu, siraman dari pengalaman-pengalaman rohani yang akan aku bawa dalam hidup ini, jadilah dan jadilah!

Mungkin semua yang hidup harus terus dan menerus dipertanyakan, sebaiknya bagimana hidup yang benar-benar bermakna tanpa mereka membuat cidra pada kemanusiaannya? Ini bukan saja tantangan, tetapi tengah menjadi suatu pedoman bahwa: tidak cukupkah menjawab ajaran kemanusiaan yang kini semakin banyak orang terlibat di dalammnya?

Malam yang tengah menjadi kelabu, sastrawan yang telah lalu mencoba kembali kepada apa yang di senanginya: yaitu bergelut dengan pemikiran dan tulisannya. Hari-hari, sungguh engkau terasa sangat mengutuk hati dan pikiran ini, sebenarnya dalam hidup ini penampakan dari "kenyataan" itu seperti apa? Dan aku sebagai "manusia" mencari apa? Lukisan khayal, mungkinkah kau perumpamaan yang terekam itu sebagai suatu ilusi besar kehidupan?

"Wong urip iku mung mampir ngombe": orang hidup itu numpang minum, kata yang berhias rapi sebagai warisan legendaris leluhur Jawa. Tetapi apakah manusia dapat disepadankan dengan berbagai ajaran-ajaran dari leluhurnya sendiri? Atau mungkin ajaran kebajikan-kebajikan lain yang mereka percayai itu? Bukakah makna suatu ajaran melalui kata-kata hanya untuk orang-orang yang mau berpikir saja?

Inilah yang terjadi saat ini, orang banyak mengaku bahwa: mereka mengikatkan diri pada suatu lembaga kebaikan Tuhan, mereka juga melakukan ritual-ritual atas nama perintah Tuhan: tetapi mereka lupa bahwa mereka harus mengenal manusia sebelum Tuhan: agar Tuhan tidak dijadikan sebuah dalih konsep kebaikan hanya dari dirinya sendiri; "tidak baik" untuk orang lain sebagai kesadaran akan sikap terhadap segala sesuatu tentang kemanusiaannya.

***

Sebagai jawaban memang aku harus bertanya; tentang disana banyak orang saling menyandarkan diri dalam bentuk obrolan verbal yang saling menguatkan satu sama lain. Apakah memang beban hidup  dari anak-anak rohani di dunia harus semelelahkan ini? Pertanyaan dibalik tanya, dan aku bertanya bukan pada yang banyak orang katakan sebagai keterpercayaannya akan kebaikan-Nya "Tuhan".

Dalam bukunya "Zarathustra" Nietzsche pernah mengatakan bahwa: "Tuhan telah mati dan matinya Tuhan karena belas kasihnya kepada manusia". Memang "kehidupan" dalam bingakai realitasnya, begitu rancu, banyak orang mengenal Tuhan tetapi sebenarnya mereka tidak pernah mempunyai Tuhan. 

"Manusia sendirilah yang telah membunuh Tuhan": karena sejatinya ketuhanan merupakan bentuk kemanusiaan, dan manusia kini dipertanyakan; cenderung enggan menyadari bahwa: "mereka manusia, harus menjunjung tinggi kemanusiannya sebagai cermin dari makhluk bertuhan".

Tetapi tuhan-tuhan dalam konsep hanya dijadikan tempat; dimana mereka melakukan sesuatu atas kehedak "Tuhan" menurut apa yang telah diyakini mereka termasuk: mengutuk manusia lain atas kebaikan mereka sendiri mengatasnamakan "kebaikan" ajaran Tuhan. Tentu semua hanyalah sebatas interpretasi "kedalaman" sikap manusia, tentang bagaimana manusia hidup dengan cara bertuhan di dalamnya: tetapi melupakan ajaran cinta kasih "Tuhan" terhadap kemanusiaan.

Menjadi pertanyaan itu, tentang konsep-konsep sebagai "manusia langit" mengaku bahwa: mereka yang paling dekat dengan "Tuhan" terbaru dalam era masyarakat teknologi. Yang dalam bingkai semesta berpikirnya terekam oleh kecanggihan teknologi, dan itu dibagikan kepada semua orang yang melihatnya sebagai "representasi" kesalehan dirinya sebagai manusia.

Namun segala bentuk pertanyaan itu, apakah reperesentasi dalam masyarakat teknologi menjadi penggambaran setiap pribadi secara riil termasuk: upaya citra diri membuat salehnya terhadap ajaran Tuhan? Pertanyaan dibalik suatu tanya itu, konflik kepentingan dan segala macamnya, bukankah Tuhan dalam konsep terus akan berubah-ubah menyesuaikan zaman dalam isi pikiran manusia saat ini?

Uang dan kekuasaan yang banyak manusia kejar zaman ini, bukankah secara tidak sadar mereka "manusia" digiring menuju kesana dan harus mewujudkan apa yang menjadi keinginan atau hasratnya sendiri? Memang semua tidak dapat di pungkiri, upaya baik mereka selalu saja mengatasnamakan "Tuhan" walaupun hasrat baik itu adalah egoisme, yang sebenanrnya manusia belum cukup dengan dirinya sendiri, dan harus terus mengisi apa yang kurang dari dirinya untuk pemenuhan-pemenuhan keinginan termasuk: "mencampuri urusan manusia lain untuk pemenuhan-pemenuhan hasrat kosong dirinya tersebut.

Sampai kapanpun, tentang pengetahuan yang terus di ajarkan oleh para manusia bijaksana disana. "Manusia yang belum selsai dengan dirinya sendiri, ia akan terus mencari sesuatu yang kurang dari dirinya, terus, dan tidak akan pernah selsai". Ketika mereka menganggap ada suatu yang salah dari diri orang lain: karena egoismenya yang tidak disadari, cenderung tanpa mengukur dirinya sendiri terlebih dahulu; selamannya karena hasrat yang kurang itu, "mencari kesalahan orang lain untuk memenuhi hasratnya; seperti akan menjadi suatu yang pasti dan dilakukan sampai kapanpun selama mereka masih hidup".

Tentu mereka melakukan itu atas dasar pemenuhan-pemenuhan tentang kekosongan dirinya tersebut, dan merasa sedikit penuh karena: ia merasa mempunyai dan percaya Tuhan-tuhan baru di dunia dan menutup "Tuhan" dalam bentuk kemanusiaan yang sebenarnya ada pada  ajaran yang mereka anut sebagai "keyakinan" hidupnya. 

Maka tidak heran, Tuhan dan ajarannya selalu hanya dijadikan citra diri terhadap orang lain bahwa; "merekalah yang paling bertuhan": tetapi secara kemanusiaan mereka sangat minim, bahkan tidak punya kemanusiaan sedikitpun!

Pertanyaannya; apa ada manusia bertuhan tetapi mendiskriminasi kemanusiaan? Bukankah ini jawaban dari gagasan Nietzsche bahawa; "Tuhan telah mati karena belas kasihnya terhadap manusia, dan siapakah yang membunuh Tuhan? Adalah mereka-mereka yang mengaku manusia bertuhan: tetapi melupakan kemanusiaan sebagai sifat sejati dari ketuhanan itu sendiri. Aku kira jika manusia sadar akan kemanusiaannya, Tuhan-tuhan menurut konsepnya tersebut tidak diperlukan lagi oleh manusia.

****

Berbagai kesadaran menjadi manusia itu, terkadang absruditas berbicara, tentang tujuan yang harus mengorbankan manusia lain didalammnya. Haruskah aku seperti mereka yang gila akan hidup yang sebatas hanya "numpang minum" bagi manusia. Berlari dan berdiri, mungkin sebagai manusia harus menantang apa yang dinamakan penderitaan hidup. Kesenangan dan kebencian mungkin adalah bumbu-bumbu itu menjadi manusia.

Namun pengetahuan itu merupakan cara mengurangi kebencian-kebencian yang harus terurai sebagai beban pikiran yang manusia harus di tanggung bahkan sebelum mereka "manusia" lahir. Bila kesadaran itu tumbuh tentang menjadi manusia: semua berawal dari diri sendiri dan tentang sumber-sumber itu yaitu: tetap dari dalam diri kita sendiri.

Ketika beban pikiran menjadi manusia dengan berbagai  permasalahan yang membuat penderitaan, menjadi manusia "bebas" tanpa konflik kepentingan haruslah menjadi keyakian. Hanya sedikit waktu kita "manusia" hidup di dunia ini sebagai apa yang harus dijalankan. Jika hidup itu mampir minum; apakah kita harus meminum air keruh sebagai manusia dan terus menerus menjadi "manusia" dengan meminum air keruh tersebut: tanpa ingin meminum air yang lebih jernih lagi?

Kebersamaan sebagai manusia dengan kehendak akan kuasa di dalamnya memang sangat melelahkan: karena sampai kapanpun dalam hidup bersama itu; manusia akan terus diseret untuk berkonflik dengan  manusia yang lain tanpa terkecuali. Hanya kesadaran intelektual sebagai lantaran menuju kesadaran batin manusia sebagai jawaban: "manusia dapat melepas semua itu, hanya kesadaran bahwa; yang dibutuhkan hidup adalah mempertahankan hidup itu sendiri tanpa kepentingan disana sebagai, maka jadilah seorang manusia yang percaya pada"nihilisme"!

Jika hidup  ada sedikit saja kesadaran; hanya hidup yang dipertahankan dan mengurangi masalah sebagai beban penderitaan hidup, tidak akan ada konflik kepentingan apapun yang akan membawa diri manusia pada setiap penderitaan-penderitaan itu. Bagaikan pisau yang di gunakan manusia, ia bukan saja akan dapat melukai yang lain, tetapi dapat pula melukai dirinya sendiri: ketika manusia tidak bijaksana dalam laku menjalani hidupnya sendiri.

Apapun itu, penderitaan adalah keinginan. Selayaknya tareget hidup atau kepentingan hidup yang lain-lainnya: merupakan beban-beban bagi manusia. Tetapi ketika manusia tidak dapat mengontrol keingianannya dengan bijaksana, dia "manusia" bukan saja akan menjadi beban untuk dirinya sendiri: tetapi juga menjadi beban bagi manusia-manusia lain.

Tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik di dalam suatu kerumanan kelompok: karena menjadi manusia dan hidup; pasti akan terus dihadapkan pada kelompok, jika bukan ini, pasti kelompok itu. Tetapi begini, apa yang tidak dapat berubah dalam hidup ini sebagai manusia, yaitu perkara "manusia" tidak merubah dirinya sendiri untuk lebih baik. Ketika tidak ada upaya merubah diri, hidup tetap akan berlaku sama, dan  mempernakan hal yang sama pula pada akhrinya, dimana pun!

Perkara citra diri, tetap bagiku hanyalah yang nampak dalam setiap permukaan-permukaan manusia; yang dapat dibentuk semaunya sendiri. Membentuk sebagai saleh, apakah tidak membuat suatu pertanyaan ketika tindakan tidak sesuai dengan kenyataan dari citra diri yang saleh tersebut dan itu terpublikasikan? Menikmati kedekatan dengan Tuhan tanpa mengenal kemanusiaan sebagai laku hidup: sama halnya engkau "manusia" yang telah membunuh Tuhan.

Tetapi hidup merupakan perkara moral dari masing-masing manusia. Kau "manusia" dapat bertindak apapun, termasuk semua yang ingin dikehendakinya. Namun mungkinkah tidak menjadi sesuatu yang sangat amoral: ketika seolah menjadi citra Tuhan tetapi mencindrai kemanusiaan? Inilah berbagai pertanyaan itu, sudahkan kita bertuhan dengan baik sebagai manusia? Pantaskah merasa paling bertuhan: tetapi tidak mengunakan cara Tuhan mencintai kemanusiaan?

Membangun citra memang mudah, tetapi berlaku seperti citra itulah yang sulit. Hidup ada kalanya memang perlu menikmati kenikmatan kecil tanpa Tuhan: tentu agar tidak menjadi pertanyaan banyak orang, dia bertuhan kepada siapa? Jangan-jangan ia "manusia" bertuhan kepada manusia-manusia yang mempunyai kuasa!      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun