Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pertapa" yang Indah Itu

1 Agustus 2019   12:28 Diperbarui: 28 Agustus 2019   06:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modern dan keluwesan sebagai pihak yang terbidik, semua orang saat ini hanya ditutut untuk luwes sebagai manusia. Tentang pertapa-pertapa disana yang mencoba lari dihadapkan pada dunia, apakah itu akan menjadi berlaku umum ketika untuk menghadapi penderitaan saja mereka harus lari? Penderitaan memang seharusnya untuk disadari, bahkan dirangkul agar derita merupakan bagian dari manusia yang harus sama-sama untuk dijalani.

Tentang keindahan sebagai seorang pertapa modern, mungkin hanya sebagai pertapa diri yang bergelut dengan dirinya sendiri. Dasar dari kebatinan, tentang sikap buruk yang menjadi derita harus disadari. Bermasyarakat, tidak lebihnya harus terjun pada pusaran penderitaan yang murni. Kini, ketika penderitaan menuju pada suatu komunitas yang saling curiga, dan manusia seperti ingin berkuasa di dalamnya, apakah yang akan dilakukan oleh satu manusia itu yang ada dalam kelompoknya?

Upaya membela dirinya sendiri, seakan dirinyalah yang paling benar. Mencoba-coba memberi nama pada apa yang menjadi kepentingannya, demi statusnya dalam menjadi dirinya sesuai dengan konsep imajinasinya sendiri. Ketika sudah menjadi harum namanya, orang lain yang menjadi lantarannya bahwa; ia lah "sendiri" yang berhasil dan patut mendapat apresiasi dari Dewa-dewa baru itu sebagai ajang penjilat lidah. 

Begitulah proses dari politisir dunia ruang kerja mutakhir, tidak peduli orang lain yang menjadi tumbalnya, ia menikmati prosesnya, dan pelaksana dari kerja sendiri, orang lain yang sengsara, namun ia yang akan menerima berkahnya, "menginginkan secara sah memakai topi mahkota kuasa".

Yang mungkin menjadi terbalas pada akhirnya, hingar-bingar hidup ini, kuat-kuatlah sebagai manusia yang ingin bebas namun tidak pernah bisa karena sistem dalam struktural itu. Menjadi pertapa lari dari dunia hanya pengecut, merubah orang lain jika bukan dari dalam dirinya sendiri, tidak akan mungkin bisa. Jiwa-jiwa, roh-roh, bahkan mental yang mengantung, beruntunglah para guru-guru disana yang dimuliakan oleh para penderita "manusia lemah" di balik rumah-rumah inspirasi mereka.

Hanya saja, jika hukum dari energi itu tidak bermain dalam hal ini, upaya menyesatkan, lari dari setiap apa yang menjadi kepuasaannya, antara dharma dan adharma manusia. Mungkin sikap manusia ini tidak akan melunak, sebagai bagian dari cinta kasih yang utama pada dirinya sendiri sebagai riilnya menjadi manusia sosial. Pertentangan dan segala macam bentuknya, seperti tidak akan dapat kita hindarkan lagi. Namun beginilah hidup, seharusnya ia memang tanpa kepentingan apapun, agar ia pun tidak dibelenggu oleh siapapun, termasuk kepentingannya itu sendiri, yang menyandranya dengan banyak-banyak penderitaan yang harus mereka atau kita alami sendiri.

***

Ungkaapan yang tidak lagi akan terekam. Jam dinding yang masih berputar disana. Lalu apakah yang akan terjadi pada esok hari? Seperti yang sudah dapat ditebak, yang lemah secara struktural profesi dalam masyatakat industri, memang selalu kalah. Tetapi inipun tidak menjadi apa, dunia dan penderitaannya memang harus seperti ini. Namun penderitaan apapun yang telah manusia alami, lebih menyakitkan tentang penderitaan yang jelas "ia belum selsai dengan dirinya sendiri, ingin menikmati kuasa mencoba meraih mahkota".

Argonasi sikap, sesuatu yang dipaksakan dalam kehendak akan kuasa, bagiamanapun dan seperti apapun, manusia jika ingin di hargai, ia tidak mungkin masih punya pamrih dari dalam dirinya sendiri kepada orang lain. Jelas disini ingin saya katakan, "tidak untuk satu manusiapun akan dihargai jika konflik kepentingan berkuasa akan diri orang lain, menjadi tujuan dibalik bingaki manis kata-katanya".

Sesuatu akan menjadi sesuatu, pamrih tetap berpamrih, seorang yang ingin memimpin dan menguasai orang lain demi kepentingan dirinya, ialah "diktator" meskipun ini hanya ruang sempit politik ruang kerja. Seperti diktaktor dibeberapa politik kenegaraan, tidak akan membuat masyarakat patuh, tetapi membuat masyarakat pembangkang yang ulung untuk melawan. Ungkapan "Widji Tukul" sebagai catatan demostran dalam menumbangkan rezim "diktaktor" militerisme Soeharto itu, hanya ada satu kata "Lawan".

Begitu pun dari dalam ruang politik kecil "ruang kerja", gaya ingin memimpin, bahkan membuat ketakutan, membuat patuh, tetap "ia " tidak akan pernah di hargai oleh siapapun kecuali "loyalis-loyalis" yang syarat kepentingan politis ruang kerja, "jika memang ia punya kekuatan disana". Seperti yang dapat ditebak dalam ruang kecil ini "ruang kerja" sekalipun, didalamnya adalah agen-agen politis dengan berbagi kepentingannya, termasuk kebutuhan untuk didengar, dilaksanakan titahnya, dan upaya menjaga nama untuk melanggengkan status quo tersebut "sebagai agen kerja terbaik".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun