Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tulisan, Pengetahuan Setiap Peradaban

14 Juli 2019   08:29 Diperbarui: 17 Juli 2019   23:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi diambil dari republika.co.id

Seperti kebingungan yang menyelip masuk di malam dengan rintik hujan kini. Rasanya bagaimana memandang hari yang semakin kedepan? Ketika saat-saat itu datang, aku menjadi bosan dan ada upaya sedikit putus asa. Tiada semangat, bahkan cenderung menjadi tidak bersyukur merupakan dasar kejengahan pada hari yang ada.

Seakan aku ingin memeluk diriku bersama bintang di langit yang terang, dan menjadi diriku secara utuh bersama setiap lamunan-lamunanku, yang tersandara oleh ketidak bebasan dari dunia ini.

Terkadang khayal ini melayang akan ego kedirian yang ingin dihargai semua orang. Rasanya aku ingin bersinar dan  lainnya inginnya meredup bagai bintang yang sangat jauh disana. Namun semakin aku ingin bersinar dari pada diri yang lain, semakin tersiksa diri ini dalam setiap perjalanannya. Pikiran ini terus merancu bagai tombak yang ganas, menggoda untuk terus semakin menjadi manusia terdepan.

Padahal tidak ada bintang yang redup mau pun terang sebagai manusia. Semua sama diantara kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam memandang dunia mutakhir.

Tidak akan bisa manusia menjadi bintang tanpa ada manusia lainnya. Seperti tidak ada kuat jika tidak ada lemah, pintar atau bodoh dan besar atau kecil. Seyoganya dalam hidup manusia harus mendobrak konsep akan kediriannya yang semu. Kehendak kuasa yang setiap manusia ingini, biarlah ia mengalir bagai kehidupan yang sama-sama telah kita jalani.

Yang harus didobrak sendiri adalah konsep "aku" yang jutru tidak berkuasa atas diri sendiri. Berhenti berkata agung, istimewa juga sok ingin dihargai oleh manuisa lain akan diri sendiri. Bukan manusia hina terhadap dirinya sendiri, tetapi menganggap tidak berlebih sangat dibutuhkan untuk keseimbangan hidup itu sendiri. Agar tidak bingung ketika dunia mengecewakan kita pada akhirnya.

Biarlah manusia berjalan pada jalannya masing-masing. Mencari titik kebahagiaannya pun sendiri. Jangalah ada upaya jika tidak ada hasil. Meskipun diharagai sangat sulit terjadi, namun manusia dapat menghargai dirinya sendiri sama baiknya dengan manusia lain. Melakukan hal yang membuat bahagia sebagai manusia itu perlu.

Terpenting tidak berbahagia diatas penderitaan orang lain yang sedang mencari kebahagiaan juga. Banyak aspek menuju kebahagiaan, jadilah manusia yang mempunyai hobi. Karena bagiku hobi merupakan kesenangan itu sendiri. Jika lelah menghadapi kehidupan, engkau dapat menyandarkan dirimu padanya. Setiap manusia mempunyai caranya dan pasti hobi adalah hal yang istimewa dalam kehidupan manusia.

Sebenarnya aku bisa bahagia dengan menulis. Tulisan apapun sangat mengodaku. Resah dan gelisah selasai dengan munulis, begitupun rasa cemas yang mendera. Semua akan lebih baik dengan cara untuk ditulis. Apalagi ketika aku berdiskusi indah dengan energi sejenis. Membahas sesuatu yang kita suka, tiada duanya alangkah senangnya. Humaniora mungkin, filsafat, dan kehidupan paradoks modernitas yang selalu mengundang banyak pertanyaan diluar sana.

Jika dilihat lebih dalam moderenitas memang sangat aneh. Semua terkesan melindungi dirinya sendiri. Atas nama kuasa yang mereka bangun lewat karir dalam menghasilkan rupiah. Untuk itu semua harus terjaga juga melindungi dirinya sendiri agar tidak dimakan oleh kekuatan yang lebih besar pada akhirnya.

Moderitas seperti belantara Afrika yang masih asri. Di dalamnya terdapat kebuasaan yang masih banal dalam memangsa. Dalam moderintas sendiri antara singa dan manusia lebih kejam manusia.

Mereka tidak memakan secara langsung, tetapi manusia berangsur-angsur memakan dari tenaga untuk waktu yang sangat lama. Selam ia masih dalam keadaan dipekerjakan saat itu pula mereka adalah korban dari bengisnya manusia. Oleh karenanya semua dapat disadari dengan pengetahuan, bukan apa, pengetahuan merupakan tameng terbaik untuk bekal manusia hidup.

Memang jika dirasa, hidup tanpa mencintai pengetahuan akan menjadi manusia paling hambar di dunia ini. Sebab tidak ada yang patut digali jika rasa ingin tahu pada pengetahuan itu tidak ada. Tanpa menggali pengetahuan dari kehidupan, apa bedanya manusia dan binatang? Jika binatang dapat berbicara pada manusia, sebenarnya mereka juga berpikir akan eksistensinya!

Mengapa ada sesuatu yang hidup berbeda dengan dirinya? Dan bersama-sama menjalani kehidupan ini? Bukankah ini akan menjadi pertanyaan ajaib kita tentang kehidupan yang masih tersisa?Dalam khayal ini, semakin menjadi, itulah satu dari tiga kenyataan yang tergambar saat ini. Begitu jelas dalam menikmatinya juga merasakan kesengsaraannya. Tetapi apa pun itu, kehidupan seperti sudah terlanjur begini adanya.

Coba kita bayangkan bagaimana dalam kehidupan kita menjalaninya sendiri? Kehambaran bahkan kehampaan akan muncul. Jika sendiri "aku" tidak ada, "kamu" tidak ada, mereka-pun "tidak ada. Jika semua itu tidak ada, aku ingin jadi kolumnis saja disurat kabar untuk diriku sendiri. Agar tulisanku dibaca oleh aku yang sendiri, belajar menjadi aku karena tiada yang lain.

Tetapi memang tidak mudah tulisan masuk surat kabar harian aku. Semua tulisan-tulisan itu diseleksi oleh keakuan. Terkadang ada rasa tidak percaya pada setiap tulisan-tulisan yang telah aku tulis. Sebenarnya layak atau tidak dibaca jika orang-orang itu ada? Apalah aku ini, hanya upaya eksis dengan menulis.

Semua memang menjadi tanda tanya besar bagi kehidupan eksistensial. Semua merasa berada jika sudah diakui begitu tenarnya. Sama halnya tulisan kita, karena tulisan adalah representasi pengetahuan dari siapa yang menulis. Jika ditulis dari tangan seorang pemula, ada nada kesangsian yang tersisa, layakkah untuk dibaca? Hanya menjadi pertanyaan para kutu buku yang sebenarnya penakut.

Mereka hanya melihat nama besar dan masyur dibaliknya. Itulah yang terjadi pada semesta pengetahuann saat ini. Kesangsian dan hanya kesangisan, mungkin berlatar belakang dari pendidikan pun menjadi pengaruh. Dalam literasi suatu karya tidak pernah terbagi, bahkan dari nama kesarjanaan tinggi sekalipun. Dimata karya semua menjadi sama dan akan tetap sama.

Banyak dari sastrawan tidak bersekolah tinggi, mereka hanya mengadalkan kepekaan mereka dalam memandang kehidupan mereka sendiri. Juga bagaimana mereka memandang kehidupan dari setiap pengalaman-pengalaman mereka. Tempaan kehidupan membuat mereka nyaman dengan menulisnnya.

Ada ungkapan bahwa menulis adalah melawan. Penulis dapat melawan apa pun dengan jemarinya, memberi pengaruh tanpa kecuali, dan terpenting dia dapat pula mengalahkan dirinya sendiri. Karena dengan ditulis segalanya menjadi gamblang, dapat dipecahkan jika dibawa dalam semesta pengkajian sebagai pengetahuan.

Sebagai penulis yang tidak handal, yang di inginkan  penulis ini adalah dibaca, bukan untuk dipercaya secara buta. Menulis bukan menyoal seberapa orang yang setuju dengan berbagai tulisan-tulisanya. Bagi seorang penulis mengumbar kata sendiri, jika dia menulis dan dibaca banyak orang, perasaanya akan sedikit gembira dan semakin termotivasi untuk terus dan terus menulis mengembangkan kata untuk pengetahuan.

Ada kalanya seorang penulis  terkadang juga bingung dan sedikit banyak merenung. Seperti apa tujuan menulis itu? Apakah bukan suatu yang hina ketika penulis mengharapkan tulisanya dibaca banyak orang? Sebagai seorang  yang menulis mungkin wajar melontarkan pertanyaan seperti ini? Baikah seorang menulis itu? Apakah semua orang butuh sebuah tulisan untuk keberlangsungan hidupnya?

Penulis merasakan bahwa; tulisan tidak hanya membuat orang termotivasi, bahkan banyak tulisan penyebar kepesimisan hidup, termasuk beberapa tulisan banyak penulis. Begitu pun tulisan yang menyenangkan, maupun menyedihkan. Tetapi apakah semua penulis tahu bagaimana penyajian tulisan terbaik itu? Penulislah yang mengira baik buruknya tulisan itu, "tulisan yang baik untuk dirinya sendiri".

Di era dimana semua orang bebas menulis seperti sekarang ini, menyoal tulisan menurut yang menulis adalah hal buruk. Setidaknya di era ini seseorang penikmat informasi dari tulisan haruslah pandai-pandai memilah, dan "memilih" tulisan mana yang terbaik untuknya. Bukankah menjadi tidak mungkin ketika kita berdebat tidak setuju dengan tulisan dan mengomentari tidak ada habis-habisnya.

Sebaiknya dari pada berdebat melelahkan pikiran, dan pembicaraan menyoal tulisan, lebih baik kita memang berdamai dengan berbagai tulisan-tulisan itu. Sebagai pembaca atau penulis pilihlah yang terbaik menurut sudut pandang sendiri.

Memaksakan untuk sesuai dengan sudut pandang sendiri tidaklah beretika. Rezim demokrasi mengharuskan warga negara tunduk pada argumen-argumen tulisan di media sosial. Tulisan yang baik merupakan tulisan yang mewakili tulisan sebagai mana adanya.

Baik dan buruk tulisan tergantung masing-masing pribadi menafsir tulisan. Penting dan tidaknya tulisan terbukti dari adanya tulisan itu sendiri. Bagi yang menulis, tulisan sangatlah penting, tulisan penting sebagai pendamping peradaban. Tanpa tulisan kita tidak pernah tahu pengetahuan akan peradaban yang sebelumnya, dan juga tidak pernah tahu bagaimana peradaban selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun