Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aku, Politikus, dan Rakyat Jelata

17 Juni 2019   16:38 Diperbarui: 20 Juni 2019   01:29 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesenjangan sosial. (THINKSTOCKS/ARTISTICCO)

ilustrasi diambil dari suara.com
ilustrasi diambil dari suara.com
Biarlah keringatnya menjadi rasanya sendiri. Membangun untuk kehidupan yang lebih baik, untuk para jelata penghuni sebagian besar sudut-sudut Negara, yang terpingir di lingkungan kumuh. dan sudut-sudut desa tanpa akses.

Kuasa itu haruslah memihak jelata, menjadi fasilitator mimpi-mimpi mereka, dan menjadi payung terbaik, adil, bagi semua para warga Negara yang ada.

Jalan perjuangan yang dibangun bersama. Tidak hanya merek politikus-politikus yang menikmati buahnya kini. Para jelata dulu, yang anak-anaknya ingin menjadi seorang polisi, politisi, dan para dokter berjiwa malaikat.

Seharusnya negara menjawab harapannnya. Tetapi, mereka "jelata" hanya pejuang yang tidak diperjuangkan diwaktu berikutnya dalam bingkai ketata negaraannya. Khayalannya tentng negara merdeka, siarna dalam realitasnya, jelata masih terlunta-lunta berjuang sendiri walaupun katanya sudah merdeka.

Perjuangan tetap membawa mereka berjuang untuk diri dan keturunannya sendiri. Seakan negara melepas mereka begitu saja di padang rumput yang gersang ini. Perjuangan mereka yang layak untuk dibantu, tanpa kuwatir anak-anak mereka tidak dapat makan, sekolah, dan menikmati pendidikan gratis di masa depan.

Negara seharusnya mengadili terhadap sesuatu yang harus diadili dengan keberadaanya sendiri. Bukan, negara bukan menjadi tempat para penikmat kue adanya negara lewat apa yang dapat dikuasainya. 

Cukupkan mereka, jangan ada lagi segelintir orang mengatasnamakan negara memeras rakyat jelata yang tidak pernah tahu nasib ke depannya. Dapat makan, membayar tagihan air dan listrik, dan tidur nyenyak adalah mimpi-mimpinya para jelata.

Korupsi, kolusi dan nepotisme berangkat dari politikus yang memeras negeri. Bangsa ini dibangun bukan atas nama pemerasan, bukan juga atas nama kekejaman, yang dikehidupan sebelumnya terima atas dasar kuasa lewat berbagai macam isu politik kolonial. Setiap orang harus bisa menjadi dirinya sendiri dengan bebas di Negara ini.

Apakah negara sudah dalam koridor kodratnya, mengatur semua apa yang dapat diatur dengan adil dan merata? Abdi negara yang gila harta, memeras, menyuap demi melanggengkan kuasanya. Apakah jelata akan dibohongi pesta kemerdekaannya atas nama kuasa akan negara?

Atau jangan-jangan mereka "jelata-jelata" yang tamak juga menikmatinya? Pesta demokrasi yang dijadikan pesta mencari uang dengan budaya pemerasan yang sama. Tidak kenal dia "politikus" hanya mencari untung kemudian memeras dirinya si jelata perlahan-lahan tanpa disadarinya.

Politikus hanya mengumpan jelata dengan janji, uang sedikit, yang menyandra diri mereka sendiri. Negaralah yang menjadi tunggangnya, pajak-pajak jelata yang hilang, tanpa bekas, sekedar pecucian uang yang tidak terketahui. Akhirilah jelata, jika kau tidak mengubah mentalmu, kau akan tetap jadi tikus yang menyuapi sapi selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun