Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mengutuk Diri pada Formalitas Kota

24 Mei 2019   18:42 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (danielvfung) | Kompas.com

Terlihat sayang ketika akal sehat tidak menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Mereka terjepit janji yang belum tentu ditepati, melakukan apapun untuk hidup setelah mati. Meskipun itu dapat dijadikan lari dari kenormalan pada keformalan hidup yang semakin beranggapan. Bukankah kita terlebih dahulu harus menyadarkan bahwa; setelah hanya ada kesadaran akan ada suatu anggapan?

Tidak lebih, waktu hanyalah ruang-ruang dimana ia mengisi dirinya sendiri. Terlalu jauh bagi yang hidup mengharap-harap adanya pembalasan kebahagian imajiner yang setimpal. Belum dibuktikan juga, kau susah hidup di dunia, hidup setelah dunia kau anggap dapat surga, bukankah ini pendapat yang mengambang? 

Mati ruang untuk mati, begitupun tua dan muda, dengan ruangnya sendiri. Manusia bisa memutuskan setiap ruang-ruangnya demi waktu-waktunya, terlalu naif berharap pada pembalasan yang imajiner. Bahwasanya hidup hanyalah kesadaran yang tercipta akan eksistensi kita, baik saat ini, besok, atau pun hidup setelah mati. Semua adalah bagaimana kita menyadari diri sendiri, tidak lebih.

Hidup adalah tentang keputusan setiap saat-saatnya, bukan tentang bualan untuk bahagia di kehidupan setelah mati nanti. Sejatinya kita dapat merasakan apapun. Ketika kita tersadar lalu membuat apa yang bisa kita anggap, "termasuk bahagia dan derita".

Sebagai bahan perenungan melampaui itu sendiri. Bias-bias realitas sepertinya retak oleh panas sinar matahari. Mungkin tanah ini akan berganti dengan tanah yang baru, menjanjikan? Sepertinya tidak, sama saja, maka jangan berharap pada siapa pun, berharaplah pada rasamu sendiri, "sebagai yang berkuasa atas dirimu sendiri".

Sepajang tahun selama iklim masih sama, tanah akan tetap sama, begitupun juga dirimu. Di musim panas "tanah" mengering dan retak, di musim hujan akan lembab dan bercak sama seperti juga kondisi psikis diri kita sendiri.

Tidak ada yang bisa dihasilkan dari panas dan hujan selain kesadaran untuk beradaptasi dengannya, baik sebagai alam maupun diri manusia. Seperti halnya pohon yang tetap tumbuh dalam cuaca apa pun, begitu seharusnya kesadaran sebagai dirinya sendiri "manusia". Kita dituntut untuk terus tumbuh dan bertumbuh sebagai jiwa manusia yang kuat.

Lihat-lihatlah, semen ini membentang luas, sumpek, semrawut dan berdebu hitam, sangat membuat diri jatuh pada kemuakan hidup kini. Berjalan di kota sepertinya memang tidak rapi lagi, umumnya di berbagai kota yang ada di belahan bumi berkembang lainnya.

Ketika daya tarik dari kota menjenuhkan kemanakah manusia harus pergi? Rasanya ingin menjauh bersama ilalang-ilalang disana, dengan domba-domba, caping yang mengerucut, dan beningnya air yang terjun langsung dari atas  Gunung berapi. Melupakan keformalan, tentang kisah yang mulia, mereka, "pedagang emperan", "pemulung-pemulung kota" dan seniman jalanan yang menahan malu untuk bertahan hidup. Itulah inspirasi nyata dalam hidup ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun