Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia, Pengetahuan dan Kehidupan

14 Mei 2019   23:31 Diperbarui: 31 Mei 2019   22:31 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hal ini jika manusia dan spesies lain mati kemudian melahirkan kembali, bukakah semua tetap pada ruang dan waktu yang sama sebagai anak kehidupan itu sendiri? Jika; "tetap ada penciptaan dan peleburan itu"? Mungkin kalian ini, "makhluk hidup" berada di kehidupan masa lalu, saat ini dan masa depan.

Untuk itu dalam mengatasi kelainan dari waktu atau perbedaan manusia, "sebagai makluk hidup" yang di alami masa modern, seperti kelainan, sikap terhadap alam, sesama manusia, terhadap hewan, maupun terhadap kehidupannya sendiri, manusia harus hanya dengan menghilangkan waktu. Orang yang paham cenderung memberi tahu cara menyelsaikan masalah itu semua dengan kembali kepada kehidupan yang di jalani pada masa lalu, saat ini, masa depan, bukankah ini dapat menjadi pendapat yang rancu?

Saya berpikir demi masa (waktu) yaitu demi suatu keadaan, tentang bagaimana reaksi manusia terhadap kehidupanya. Masa lalu adalah jawaban yang realistis tetapi karena kesombongan manusia berpikir jauh kedepan adalah suatu solusi, padahal realitasnya adalah saat ini.

Pandangan saya, jika manusia hanya berpikir kedepan, dia hanya memandang dan mengundang suatu masalah. Bukankah jika kita berpikir kedepan harus menyelsaikan sebuah masalah? berpikir tentang masa depan adalah suatu masalah. Masa depan tidak pernah ada karena itu hanya orang bermasalah yang memikirkan tentang masa depan. Begitupun dengan manusia yang berpikir masa lalu, masa lalu sudah berlalu dan hilang. Menjadi kontradiksi sendiri jika kita berpikir saat ini, mengapa kontradiksi? Karena kita masih terbayang antara masa lalu dan masa depan.

"Demi masa mengajarkan manusia bereaksi terhadap kehidupanya bukan melampaui waktu hidupnya. Sepertinya setiap diri manusia hanyalah wujud pengalamannya semata untuk menghilangkan anggapan waktu hidup manusia itu sendiri"

Namun Pengikut selalu memperpusing dirinya sendiri. Ketika ada yang berbeda dirinya seakan mempermasalahkan yang beda dari darinya itu. Padahal jika mau melihat lebih dalam, tidak ada yang berbeda dari kita. Semua menuju yang satu dan akan menjadi satu pada akhirnya, kembali menjadi enrgi sebagai daya hidup.

Menjadi manusia pengikut pada dasarnya hanyalah pertimbangan dari kelemahan akal budinya saja. Ketika ia menimbang, budinya terkadang menipu, mana yang menurutnya baik, akan di ikutinya. Padahal apa yang diterimanya belum tentu menjadikannya bijaksana sebagai manusia yang mempunyai bakat dalam setiap hidup sebagai seniman pemikiran.

Saya tidak peduli seseorang itu theis atau atheis, taat atau tidak pada apa ajarkannya secara turun temurun dan membudaya. Semua akan sama ketika menyentuh setiap dimensi batinnya (spiritualisme). Di dalam diri manusia ada rasa, "disitulah bersemayamnya kasih, kebijaksanaan dan sifat-sifat kebaikan dari yang ilahi". Berada pada dimensi batin tidak perlu kamu harus teis atau ateis. Setiap manusia mempunyai unsur keilahiannya sendiri-sendiri tergantung bagaimana diri manusia mengaksesnya.

Oleh sebab itu, makluk hidup sejatinya tidak ada yang tidak bertuhan. Semua bertuhan karena setiap makluk sejatinya adalah keilahian. Kebaikan dan keburukan tidaklah untuk dihakimi tetapi untuk disadari dan dipelajari. Bagaimanakah kita sejatinya harus tetap menjalani hidup ini? Apa yang perlu kita perbaikai dalam hidup ini? Dan apakah yang harus kita lakukan sebagai makluk keilahian yang sedang menjadi manusia?

Jadi biarlah mereka dan kita menjadi versi terbaik bagi diri kita sendiri. Tidak peduli suku, agama atau ras mereka maupun kita. Hidup membawa budaya kita masing-masing, tradisi juga masing-masing.Yang perlu kita sadari sebagai manusia adalah "jangan pernah tidak percaya pada kebaikan keilahian yang sudah ada pada diri dan setiap makluk hidup". Setiap dari kita punya sifat dasar kebaikan ilahinya sendiri tergantung kapasitas diri kita menyentuhnya.

Mulailah dari sekarang dan berhentilah menghakimi. Hidup adalah pembelajaran bagi masing-masing insan. Jadi dalam hal ini konteksasi hijarah sebagai universalisme bagi pembelajaran insane sangat lah penting. Apa sebenarnya makna dari hijrah sesungguhnya? Saya menganggap bahwa hijarah adalah suatu keinginan perwujudan untuk bagaimana merubah keadaan mencapai hal yang sinkron. Hijrah tidak selalu untuk keadaan yang lebih baik ataupun lebih buruk, keadaan apapun ketika manusia ingin merubahnya adalah suatu hijrah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun