Saya hanya akan terusik kehidupannya jika negara dihadapkan pada warganya yang memaksakan kehendak, yang justru bertindak anarkis mencidrai hidup bersama yang telah dibangun indah ini.
Perbedaan bukanlah soal, lagi-lagi aku mengira, akarnya adalah dari kemaruknya manusia yang tergila-gila akan kuasa politik yang semakin menjadi "Tren" era demokrasi teknologis.Â
Aku berpendapat, mengapa aku katakan ini, "sebagai demokrasi teknologis"? Tentu karena peran media sebagai tunggal dan berpengaruh pada citra "politikus" yang sebelumnya tidak terlihat dalam forum masyarakat, tiba-tiba ia dengan modalnya menjadi dasar untuk ikut dalam pemilihan umum sebagai wakil rakyat.
Menurut saya kegagalan demokrasi saat ini awalnya berasumsi dari logika formal yang memaksa. Salah satunya adalah mereka yang karena modal uang mengikuti kontestasi politik. Padahal mereka tidak mengerti apapun dan tidak membaca apapun tentang ide politik atau filsafat politik.Â
Mereka "para politikus demokrasi" tidak ubahnya hanya manusia yang gila sandangan sebagai "wakil rakyat", di mana tujuan mereka hanyalah mencari kerja untuk mendapatkan uang.
Tidak heran jika mereka membuat suatu undang-undang ke tata negaraan yang diuntungkan pihak yang memberi insentif kapital pada mereka. Seperti yang kita tahu, di mana dikategorikannya Partai Setan dan Tuhan. Tetapi jika dihadapakan pada uang, identisas Setan dan Tuhan akan sama menjadi partai manusia dengan berbagai keserakahannya.
Korupsi masih merejalela bahkan tetap menggiring kader-kader partai yang berbasis teologis atau non teologis. Terbaru kemarin, di mana jual beli jabatan pada kader partai berbasis teologis terjadi dan pelakunya adalah ketua partai berbasis teologis itu sendiri.
Saya mengira ini adalah rasa tidak mampu politisi bahkan masyarakat yang melahirkan politikus itu sendiri. Bisa terjadi ini merupakan keputus asa-an mereka "politikus" akan kuatnya modal dalam demokrasi. Kini tanpa modal, untuk memobilisasi masyarakat dalam pemilu, politikus tidak akan laku dan terpilih dalam pemilu.
Ini yang menurut saya, "membuat mereka gagal pada pekerjaan mengabdi pada kepentingan rakyat". Sebab untuk menjadi pejabat publik sendiri mengandai kepentingan modal, "bentuk uang" mereka sendiri.Â
Bukan hal yang salah jika mereka bekerja sebagai wakil rakyat untuk mengembalikan modal yang mereka telah keluarkan. Memang dalam hal ini membuat paradoks, tetapi? Begitulah politik, begitulah demokrasi kita.
Sebetulnya yang bisa menilai bahwa diri berhasil atau tidaknya bukanlah orang lain yang menilai. Yang bisa menilai diri manusia berhasil atau tidak adalah dirinya sendiri.Â