Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebagai Jiwa Pemenang Abad 21

27 April 2019   07:05 Diperbarui: 7 Mei 2019   11:36 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Sukar, memang terlihat sangat sukar rupa-rupa fenomena abad 21 ini. Abad ini adalah abad dimana yang tidak mampu berinovasi terhadap dirinya sendiri akan musnah. Bukan musnah pada arti yang sebenarnya,"tetapi musnah dengan perlahan ditelan sakitnya ego karna nafsu dan rusak dilalap kemunafikan yang indah".

Jiwa-jiwa sakit merupakan sebagian besar penghuni abad 21 ini. Setiap hari sudut layar digital dipenuhi dengar sikap narsistik kawanan anak-anak setengah dewasa yang menganggap dirinya sempurna tanpa dosa. Terkadang hal yang konyol dijadikan bahan menelanjangi diri dengan elegan. 

Tetapi ya, tidak apa, karena kebanyakan orang menganggapnya hal yang wajar. Aku pun mecoba berpikir tentang ini. Apakah tidakan sebagian anak-anak setengah dewesa itu kreatif? Aku berujar tidak juga.

Kreatif bagiku adalah mereka yang sedang mencari tempat tinggal baru dan membuat sistem kehidupan baru selain bumi. Abad 21, manusia menjadi semakin rakus, maka dari itu kedepan bumi bukanlah tempat yang bersahabat untuk ditinggali dengan kepemilikn lahan yang terus di kavling-kavling oleh manusia itu sendiri. Aku percaya ketika orang-orang tidak merasa lapar secara terus menerus bumi akan kembali bersahabat bagi manusia.

Sikap merayakan era digital abad 21 memang sangat menyamarkan. Banyak berbagai gaya hidup disitu, propaganda dogma yang memabokan, ujaran untuk paling sempurna dimuka bumi, dan banyak hal lain yang tidak tertangkap oleh pemikiran umum saat ini. 

Ketika banyak orang merayakannya, bagaimana sikap seseorang yang menganggap abad 21 era digitalisasi ini biasa saja? Tetaplah tenang dengan diri sendiri, terkecoh isu-isu murahan hanyalah membuat kepala Anda terasa lebih pusing dari sebelumnya. Sepertinya dibalik manusia rakus uang, juga rakus akan nama besar untuk dirinya sendiri.

Tetapi hidup diabad 21 jangan pernah melupakan uang sebagai instrumen penting didalamnya. Kini bagaimana bisa abad 21 mengekspresikan diri tanpa menggunakan uang? Meskipun tanpa uang bisa tiduran seharian ditempat tidur, apakah tidak merasa bahwa apa yang ditiduri didalamnya ada transaksi uang yang tidak menyadarkan?  Hay, tempat tidur itu dipajaki dengan uang pada abad 21 ini. 

Ya ,abad 21 adalah abadnya orang-orang penuh dengan kerja untuk mendapatkan uang. Semakin banyak uang dihasilkan semakin baik kehidupanmu pada zaman ini. Bukanlah hal yang salah bila hidup diabad 21 ini, memberdayakan orang lain untuk kemakmuran diri sendiri dan memperjuangkan nama besar atas nama pribadi pun halal hukumnya.

Dibalik gemerlapnya rupa-rupa abad 21 terselip pertanyaan yang terbaik, apakah masih bisa hidup tanpa uang? Dan orang paling benar abad 21 ini menjawab, bisa asalkan kau tidak hidup didunia. Lalu kemana aku akan pergi? Yang gratis itu disisi tuhan, carilah tuhan, tetapi jangan cari tuhan di dunia "tuhan sudah mati di dunia" meminjam kata dari "Friedrich Wilhelm Nietzsche" . 

Orang benar berbicara lagi, "untuk bisa di sisi tuhan orang di dunia pun pada abad 21 ini meyakini banyak syarat". Kembalilah mereka bertanya, syaratnya apa? "Kau harus murah hati berbagi uang dulu sebelum ditempatkan disisi paling indahnya Tuhan". 

Mereka pun berujar, apa yang tidak dengan uang? Untuk lahiran pun butuh banyak uang, matipun membawa kebaikan yang didasari dengan uang. Ah, hidup macam apa ini? Jangan-jangan Tuhan hadir karena uang?

Untuk bisa bertahan hidup abad 21 mau tidak mau memang harus mengikuti alurnya. Jika dialur itu  sedang krisis terhadap hal-hal menyangkut kedirian berarti diri haruslah terus disadari keberadaannya, tentu oleh diri manusia itu sendiri. Mungkin kata-kata dariku tidaklah penting, tetapi setidaknya ini menjadi peganganku mengikuti arus abad 21 dengan berbagai kompleksitas paradoksnya.

Paradoknya abad 21 sendiri tidak hanya bagaimana besarnya uang berperan dalam kehidupan itu sendiri. Lemahnya perlindungan bagi pekerja "orang yang mencari uang" dan pemenuhan hak pekerja dari perusahaan multinasional atau perusahaan-perusahaan lokal membuat masa depan pekerja sudahlah pasti. 

Pekerja dipastikan hanya sebagai serdadu keuntungan dalam bentuk uang oleh para pemilik modal. Dari dalam sistem ekonomi liberal, memungkinkan bebasnya pergerakan modal dari modal lokal sampai modal global. Kondisi inilah yang menjadi tonggak cikal bakal kapitalisme global yang berlaku saat ini di Indonesia. 

Perusahaan lokal ataupun multinasional tidak akan melewatkan kesempatan ini, di mana inilah saat terbaik untuk mengembangangkan sayap perusahaan itu sendiri. Atau bahkan menyelamatkan perusahaan dari krisis keuangan dengan eskpansi pada potensi-potensi bisnis yang masih banyak tersedia.

Dengan berlakunya era kapitalisme global yang bebas akan pergerakan modal memunculkan komuditas baru, uang yang dahulu hanya sebagai alat tukar-menukar kini bermetamorfosis sebagai komoditi yang diperjual- belikan di pasar keuangan. Bagi setiap orang yang punya modal bebas menjadi pelaku pasar modal, modal dari merekalah yang dipergunakan oleh perusahaan yang nyaris bangkrut ataupun perusahaan yang akan melebarkan usahanya. 

Transaksi modal ini praktis mengurangi jumlah total keuntungan perusahaan pengonsumsi pasar modal karena sebagian dari keuntungannya dibagikan kepada para pemilik modal yang menginvestasikan modalnya diperusahaan tersebut.

Sistem ini menjadikan keuntungan di mana antara perusahaan dan pemilik modal sama-sama mempunyai keuntungan yang sama. Perusahaan mampu bereksistensi bahkan melebarkan usahanya dan sang pemilik modal mendapatkan keuntungan dari modalnya. 

Kurangnya jumlah keuntungan perusahaan yang diterima karena harus berbagi dengan para pemilik modal memunculkan masalah baru. Masalah baru itu adalah pembagian keuntungan perusahaan dengan pemilik modal yang mengorbankan kelas pekerja.

Kesejahteraan pekerja dari keuntungan perusahaan akan dikurangi karna pembagiaan keuntungan tersebut. Bahkan keadaan yang ada perusahaan lebih memihak para pemilik modal untuk mau terus berinvestasi di perusahaannya. 

Tidak tanggung-tanggung karena mendesaknya peran vital akan modal pada dunia usaha membuat perusahaan menawarkan penawaran keuntungan yang lebih besar untuk para pemilik modal (pemegang saham). Disinilah bentuk kejelasan itu, di mana para pekerja tidak akan diperhatikan lebih jauh kesejahteraannya oleh perusahaan di abad 21 ini.

Kapitalisme global membentuk konspirasi baru, di mana sistem-sistem baru untuk mengelabui permainan kapital yang tidak berimbang ini antara perusahaan, pemilik modal dan kelas pekerja. 

Pengelabuan bentuk itu adalah terciptanya sistem alih daya perusahaan, di mana tujuan dari perusahaan alih daya untuk meminimalisir pengeluaran operasional perusahaan tersebut. Semakin minim pengeluaran operasional semakin baik keuntungan yang akan dijanjikan perusahaan untuk menarik para pemilik modal untuk berinvestasi.

Parahnya lagi pemilik modal perusahaan alih daya pun mengambil nilai keuntungannya dari para pekerja perusahaan alih daya tersebut. Sungguh para pekerja kini terjatuh ketiban tangga dalam perwujudan kesejahteraannya melalui bentuk uang yang di dapat dari bekerjanya. Pekerja di era milenium ketiga atau abad 21 merupakan serdadu keuntungan bagi para pemilik modal. 

Merajainya modal membuat para pekerja yang hanya modal dengkul praktis terpinggirkan oleh sistem kapitalisme abad 21 ini. Harapan menjadi sejahtera sangatlah kecil, pekerja era milenium ketiga semakin berat dalam mencukupi setiap kebutuhan-kebutuhannya.

Sudah pastinya masa depan pekerja membuat menjadi pekerja selamanya bukanlah jawaban realistis untuk terus berkesistensi diera baru dunia "abad 21" ini. Jika pekerja tidak ikut bertarung modal dengan para pemilik modal, selamanya akan menjadi kalah kemudian menjadi pesakitan dari mekanisasi sistem kekuatan modal itu sendiri. 

Harapan pekerja untuk merangkak maju itu dengan menapaki jalan baru dengan kekuatan modal juga, di mana menjadi borjuis kecil sebagai jawaban yang realistis untuk menjadikan eksistensi kelas pekerja menjadi lebih baik dan kompetitif di era abad 21 dalam mencari uang.

Dengan berbagai pertentangan antara kelas pekerja dan pemodal sendiri tidak ingin aku gubris begitu serius. Aku tidak peduli apa yang menjadi pakaianmu dan sistem menjalankanmu.  Aku juga sama tak peduli seberapa dalam kau mencari ilmu untuk hidupmu untuk perolehan kapital. 

Yang aku tahu," hidup itu membawa diri sendiri". Tidak banyak inginku, aku hanya ingin menjadi selamat di abad manapun dengan hanya menjadi pengamat yang bertarung dengan sistem. Bagiku selamat bukan hanya sekedar kata, tetapi filosofi terdalam hidup manusia lintas abad.

Memang menjadi pengamat system berhasrat terasa pilu, sekian lama aku melupakan kicauan-kicoan romantisme di dalam sebuah wadah yang samar akan segala bentuk kemudahan dari setiap kesejahteraan. Lari-lari dan terus berlari mencoba mendekap-ndekap rasa dalam diri saja mengamati. Suaraku tak lagi lantang karna harus menelan bentuk uang untuk hidup. Seakan hariku dipaksa sekejab melupakan realitas ini. 

Namun yang tetap aku rindukan tetap tentang itu, tentang dimana kegelisahan justru merajalela ditelan jaman pencerahan kedua ini sebagai tandingan pengamat era kapitalisme abad 21.

Siang ini terasa memilukan, hampir setiap hariku melihat layar kecil nan banyak wahana keseruan semu, semua orang menganggapnya dunia maya. Kini hari-hari bahagia semakin mudah terpublikasi. Tidak jarang seakan menjadi perlombaan diri yang terkadang meyakiti hati bagi setiap penggunannya. 

Disaat semua berlomba, aku seakan mencari cara bagaimana membahagiakan diriku tetapi tidak sama dengannya. Tetapi apa? Yang tidak sama kini tidak akan merasa bahagia karena tak sama merupakan bentuk keterasingan termutakhir.

Sekarang ini aku mulai mengubur cara hidup yang efisien itu. Mimpiku banyak namun aku tahu mimpi itu harus dibarengi sarana agar lebih mudah tercapai. 

Akhir-akhir ini aku dihadapkan dua pilihan antara rasa sakitnya melawan arus untuk membangun sarana sendiri dan pilihan praktis mengorbankan hasil untuk kesenangan maupun interpretasi bahagia banyak orang. Dunia hari ini memang menyamarkan, di mana yang menang dan kalah punya masalahnya sendiri-sendiri yang tidak bisa lagi dibanding-bandingkan bahkan dengan perolehan uang.

Rasanya tak mungkin dijaman serba ada bak surga bertapa lagi didalam goa. Jaman ini mencoba mengisolasi diri sama dengan mencicipi neraka lebih dini. Tak ada ide-ide lagi, tak ada juga renungan mencari kebijaksanaan rasa dihati, kini semua serba instan, yang berarti tidak peduli semua dilakukan dengan cara konsumsi asal menenangkan hati.

Abad ini merupakan jaman maju walapun banyak orang konservatif menganggap jaman ini mundur. Apapun kemunduran bagiku adalah kemajuan itu sendiri. Mungkin inilah jaman yang boleh dikata abad pencerahan bagian dua bagi rakyat pengamat. Dimana setiap kemajuan teknologi ada kemunduran dalam perkara moralitas, tergila-gila pada material "uang" adalah ciri kemunduran moralitas itu sendiri. 

Tetapi intuisiku berkata moralitas yang baik adalah moralitas yang buruk menjadi baik dan yang baik menjadi buruk lagi. Aku rasa dunia adalah tempat membangun buruk sekaligus baik. 

Yang salah hanyalah orang yang memperkarakannya karena ketidakmampuan menyesuaikan jamannya. Sadarlah kita berada dijaman yang selalu akan menjadikan "bersenang-senang adalah tujuannya. Tetapi apa yang salah dari itu? Bukankah hidup untuk senang?

 Kini tidak ada alasan hari untuk tidak mengkhawatirkan dirinya. Perubahan yang serba cepat mau tidak mau harus ikut bahkan terjun bebas di dalamnya. Apa yang akan terjadi besok seakan sudah bisa terprediksi. Besok dan lusa tidak ada alasan untuk tidak punya selembar uang. 

Bekerja mencari uang lalu belanja tanpa batas merupakan pemandangan yang umum di sebuah tempat, di mana ciri masyarakatnya sangat begitu kapitalistik.

Mencari dan mengumpulkan bongkahan uang, merupakan cara bertahan dipusaran masyarakat kapitalistik abad 21 ini. Jangan pernah tidak tahu caranya seperti apa, seseorang yang polos akan masuk pada jurang neraka dunia yang panas berhembus harapan dan keinginan akan sejahtera dan uang. 

Yang polos adalah orang-orang yang harus memuaskan hasrat belanjanya tanpa memikirkan segala sesuatunya, bahkan rasa lelahnya pun tak dihargainya dengan sikap konsumtifnya. 

Kepolosan adad 21 haruslah dihilangkan untuk tidak tetap melekat di dalam diri. Dimana pemberdayaan kebodohan yang memiskinkan sudah tidak berlaku lagi oleh para pencari keuntungan-keuntungan pribadi. Semua harus dilakukan secukupnya agar kemenangan tidak terpusat pada orang itu-itu saja para pelaku bisnis besar ekonomi.

Seharusnya semua orang harus lebih berhati-hati dengan segala macam keinginan yang memboroskan uang. Memang tidak pernah salah, "itu uangmu dan aku tidak mau mengurusi itu". Tetapi bukankah semua orang ingin menang memerangi jaman dengan menjadi sedikit agak santai pada arus zaman? Untuk mengamankan dijaman masyarakat kapitalistik ini adalah bijak dalam mengatur uang. 

Semua tahu, abad 21 ini merupakan jaman yang tidak sangat ramah. Semua harus dibeli dan barang apapun ingin kita punyai. Apakah tidak cukup ketika menyadarkan ketika keresahan akan uang dan merepotkan orang lain karena uang sebagai pembelajaran yang menang dan yang kalah di jaman kapitalistik ini?

Tidak mudah memang menaklukan jaman abad 21 ini, dibutuhkan strategi khusus. Sebetulnya semua orang bisa menerapkan strategi itu. Tetapi strategi itu merupakan strategi terberat yang pernah ada pada setiap zamannya. 

Menurutku memang "tidak mudah mengalahkan diri sendiri untuk tetap bisa menang di jaman yang membutuhkan sikap memadamkan diri untuk tidak terayu dengan bujuk rayu sesuatu yang tidak perlu untuk dibeli tetapi ingin membeli".

Mereka yang kalah oleh jaman adalah merka yang miskin kemudian di miskinkan lagi oleh beberapa gaya diri yang konsumtif. Terlahir manusia miskin bukanlah untuk meratapi dan betah akan kemiskinannya. Kenapa bisa miskin? Apa yang salah ketika kita menjadi miskin? 

Adakah itu dosa masa lalu yang tidak baik dalam pengontrolan akan uang? Atau dosa keturunan yang salah mengatur kegiatan ekonomi setiap strata kehidupan leluhur? Semua memang harus dipikirkan dan diputuskan oleh diri kita sendiri. Menjadi menang dan bisa menaklukan jaman adalah mereka yang tidak bisa diperbodoh oleh jaman. Untuk itu jika ingin menang menjadi anggota masyarakat kapitalistik "pandai-pandailah mengatur keuangan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun