Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sastra Manusia Pengharapan

26 April 2019   19:00 Diperbarui: 1 Mei 2019   23:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Waktu menunjukan sore hari akan tiba. Aku duduk diujung bukit yang tidak begitu tinggi namun semua seperti terlihat. Rumahku diujung barat, tempat tingalku diujung timur. Disini aku merasakan, sedang berada dititik tengah antara rumahku dan tempat tinggalku. Hujan yang tak kunjung berhenti membawa aku kesini. Hembusan angin sore ini seakan membawa kebahagiaan baru.

Aku renungi, aku sekarang seperti ada di surga yang nyata. Awan seperti berjalan dibawah kakiku. Ternyata dinginnya udara membuat aku begitu terpana akan pemandangan disetiap sudut bukit. Disebelah selatan hamparan samudra hindia yang luas membentang sampai Australia. Saat ini aku sedang menghadap timur dan aku sedang membelakangi tanah airku sendiri.

Aku mungkin orang yang sulit bermimpi namun kenyataan membawa aku dibukit yang tidak begitu tinggi ini. Rasanya sulit aku terjemahkan, aku seperti berjalan pada ujung angin yang tak pernah selsai. Besi yang menjulang tinggi kelangit sudah seperti sodaraku. Tidak, aku tidak ingin ini menjadi mimpi yang buruk karena semua akan aku buat seindah dari apa saja yang dapat menjadi indah. Setiap hari angin seperti membawaku terbang kemanapun ia mau.

Bukit gundul itu seperti tangga, dia layaknya jalan yang harus aku tempuh. Berada diatas langit, aku bak petualang yang selalu ingin pulang. Yang kurasa adalah aku ingin pulang dari segala bentuk keterasingan dari diriku sendiri.

Dibukit yang tidak begitu tinggi ini, aku sungguh ingin melepaskan berbagi beban yang ada. Pemandangan baru selalu memberi warna baru, kehidupan baru dan pengalaman baru. Aku ingin mengenangmu,kau bukit harapanku. Pemandanganmu tak mudah hilang dianganku. Kaulah salah satu surga yang ada di kehidupanku,"ya kaulah harapanku".

Tetapi tiada harapan yang benar dalam hal ini, semua dibuat rancu oleh realitas keinginan mewujudakan itu sendiri. Malam ini aku seperti mabuk dengan pertentangan orang-orang dari kiri dan kanan. Semua ingin menegakan kebenarannya sendiri atas dasar harapannya. Apakah kebenaran yang mereka anggap benar-benar kebenaran? Tidakah mereka ditentang karena mereka belum benar? Ah, aku rasa kebenaran harapan seakan racun yang harus dihilangkang, dibasmi kadang perlu juga dilenyapkan agar tidak ada orang yang merasa paling benar.

Kau tahu kebenaran itu memabukanku? aku rasa semua orang saat ini juga sedang mabuk. Mereka mabuk kepayang tentang harapan yang ideal, yang sempurna bahkan yang di ridhoi oleh keyakinan semunya. Aku ini sedang berpikir seperti apakah caranya membuat mereka dan aku mabuk lebih lama? Aku mengira sulit menemukan formula yang sepadan dengan maboknya harapan kebenaran. Mabuk kebenaran itu "brutal", "penerobos aturan "dan "mengerucutnya rasa persaudaraan".

Sepertinya yang mabuk memang harus dikumpulkan dengan yang sama-sama mabuk. Supaya apa mereka harus dikumplkan? Tidak lebih, agar mereka mencintai rasa mabuknya itu. Sebetulnya cara sesama pemabuk itu salah, tidak perlulah lilin kebajikan ada, juga tidak perlukah importir sorban putih dibela mati-matian. Ketidaksadaran orang mabuk itu gampang diguna-guna tergiring untuk tidak damai. Sungguh sial aku akhir-akhir ini, surga harapanku hilang sebelah. Bahkan kau tahu? Surgaku yang lain juga digrogoti pesan sok bijak para peselancar media sosial yang ganjil.

Aku mecoba berpikir kembali, rasanya kolestrolku naik dan darahku meninggi. Aku pun sama seperti mereka mabuk untuk merasa keadaan lebih tenang dan mendamaikan. Kau tahu aku lari dengan memakan lebih banyak makanan agar cepat tidur kemudian lupa. Kau tahu dipikiranku? hanya ada sebotol Bir dan Tuak untuk melupakan keadaan. Sudahlah apakah tidak bisa dunia ini tenang seperti damainya matahari disore hari? Atau jangan-jangan semua orang ingin membiarkan dirinya terbakar disulut keterikan siang hari? Oh, rasanya aku ingin hilang ingatan saja.

Kini aku mabuk kata bijak, sekarang aku tak mau berkata bijak apapun. Mungkin kalau aku sadar kembali akan aku buatkan kata bijak yang tiada bandinganya. Sebenarnya aku tidak mau menikmati saat ini. Keberadaan saat ini begitu mengasingkan diriku, aku tak bisa tenang hingga kolesterol dan darah tinggiku turun. Pemabuk memang membosankan, yang tak mabuk pun digiring untuk ikut menjadi pemabuk.

Besok mungkin kau akan demam jika kau tak mabok hari ini. Marilah kita bersulang mabok kebenaran dengan aksi bela atau bela aksi. Sembari aku membela diriku dan mengobati rasa mabukku yang tidak jelas, aku ingin beri saran padamu. "Mabuklah selagi bisa mabuk, dan mabuklah dengan caramu sendiri jangan ikut-ikutan mereka", mabuk merka itu dipimpin orang gila kekuasaan yang sedang mabuk-mabuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun