Melihat, mendengar dan merasa, sepertinya tidak akan ada lagi omong besar yang merajalela. Diri dapat ditindas oleh apa yang diyakini diri-diri yang lain. Bukankah mengherankan situasi keblinger jaman muktahir ini? Yang mengenal dirinya, yang baik pikiranya dan yang berbeda kelakuannya hilang tidak terakui oleh hingar-bingar kehiduapan ala monster moderenitas.Â
Mereka lenyap untuk diakui, sehingga, menepilah dengan kesadarannya sendiri.
Jadi, kehendak menjadi berbeda seakan dilupakan, dihilangkan bahkan ditikam sebagaimana ia harus mati. Kejerniahan memilih tidak lagi dominan. Ia kalah, mereka kalah dengan mentalitas krumunan yang mendera hidup dan pikiran mereka.Â
Tumbuh subur dalam mengerikannya suara-suara dari dalam kedirian mereka. Enyahlah, leburkan dirimu dengan zat yang menggilakan dirimu ketika kau memilih dan menjadi pemilih. Karna dunia mencatatmu sebagi orang yang berbeda, lari dari fakta sejarah
Sangat disayangkan manusia baik rasanya terpinggirkan dalam panggung kehidupan. Mentalitas krumunan cenderung menjadi warna yang sama diagungkan. Bahakan krumunan dijadikan pijakan yang indah walaupun menyesatkan.Â
Lihatlah, mereka terasing, sunguh selamanya akan menjadi terasing dari dalam dan rasanya. Kuasa akan diri yang hilang, dimanakah ia berada pada akhirnya? Apakah tetap mengedap seperti banjir yang terjadi karna kurangnya arsitek abad ini?Â
Seperti orang yang lelah pada kesumpekan realita kota. Terhimpit, kadang teradili oleh alam kepanasan yang mendera sepanjang malam. Nasib kota di suatu wilayah industri maju, ekologis tidak terperhatikan. Terpenting manusia dan rumah menjadi yang utama.Â
Mereka hanya mau nyamannya sendiri, bekerja dan belanja kemudian tinggal ditempat yang terjangaku dalam krumunan. Tetapi sungguh mengherankan tanpa sadar, mereka akan dikoyak banjir yang tidak bisa terhindarkan pada musim penghujan.Â
Sistem tata kelola kota yang kurang baik membuat mereka menjadi lumrah hidup dengan bencana yang sebenarnya bisa mereka hindari.
Doa-doa yang terpanjat, untuk siapakah itu? Mereka seperti hanya ikut-ikutan berkabung dengan diri yang sebenarnya kesalahan dari diri-diri yang lain. Hidup tanpa sifat antisipatif, lenyapnya kesadaran dan kecederngan betah dengan keadaan itu.Â
Tidak patut menyalahkan siapapun karna dalam kepemilikan ada kehendak kuasa yang hebat. Mereka punya dan mereka enggan melepaskan. Kepemilikan akan tanah adalah keuntungan besar itu sendiri. Menjadi rugi di hibahkan untuk jalan air yang tidak ada potensi untung dilain hari.Â